YOGYAKARTA - Presidential Threshold yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, tidak sesuai dengan Konstitusi seperti yang ditegaskan Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti.
Dia menyampaikan hal itu saat membuka Focus Group Discussion bertema 'Presidential Threshold dan Oligarki Pemecah Bangsa' yang digelar di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Selasa, 16 November. Acara FGD dilakukan secara hybrid (fisik dan virtual zoom).
BACA JUGA:
Presidential Threshold Tak Sesuai Konstitusi
“Apakah Presidential Threshold sesuai dengan Konstitusi? Jawabnya adalah tidak. Ini bukan hanya jawaban dari saya, tetapi semua pakar hukum tata negara mengatakan hal yang sama,” kata La Nyalla dalam keterangannya, Jakarta, Kamis, 18 November.
Dijelaskannya, pendapat itu jelas terungkap saat dirinya membuka FGD di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta beberapa waktu lalu. Dari tiga narasumber pakar hukum tata negara dalam FGD, semua mengatakan tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden.
“Yang ada adalah ambang batas keterpilihan presiden yang bisa kita baca di UUD 1945, hasil Amandemen, di dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4). Disebutkan bahwa Ambang Batas Keterpilihan perlu sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar,” paparnya.
Sedangkan Ambang Batas Pencalonan tidak ada sama sekali. Di Pasal 6A Ayat (2) yang tertulis; 'Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum'.
“Artinya setiap partai politik peserta pemilu berhak dan dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres. Dan pencalonan itu diajukan sebelum Pilpres dilaksanakan,” ujar dia.
Yang kemudian membingungkan, justru lahir UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang merupakan pengganti dari UU Nomor 42 Tahun 2008. Dalam UU tersebut, di Pasal 222 disebutkan, 'Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya'.
“Di sinilah semakin ketidakjelasannya. Selain memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana dan ditentukan siapa, di Pasal tersebut juga terdapat kalimat; 'pada Pemilu anggota DPR sebelumnya'. Akhirnya komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR diambil dari komposisi yang lama,” papar Senator asal Jawa Timur itu.
“Sungguh pasal yang aneh dan menyalahi Konstitusi. Apalagi menggunakan basis hasil suara yang sudah “basi”. Karena basis suara hasil pemilu 5 tahun yang lalu,” imbuhnya.
Sayangnya meski jelas pasal dalam UU Pemilu itu tidak derifatif dari Pasal 6A UUD hasil amandemen, tetapi Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal tersebut adalah bagian dari Open Legal Policy. Atau wewenang pembuat Undang-Undang. Sehingga, sampai hari ini, pasal tersebut masih berlaku.
“Oleh karena itulah kami di DPD RI berpendapat bahwa Wacana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 yang kini tengah bergulir harus benar-benar dimanfaatkan untuk mengkoreksi sistem tata negara dan arah perjalanan bangsa,” tuturnya.
La Nyalla juga berharap FGD-FGD yang dilakukannya di berbagai kampus maupun institusi lainnya menambah literasi dan memperkaya pemahaman sebagai motivasi untuk melakukan perbaikan atas beberapa persoalan fundamental yang ada di negara ini.
“Tentu DPD RI akan mendapatkan dorongan energi, bila mahasiswa Indonesia, termasuk para mahasiswa UMI Makassar menjadikan agenda Amandemen Konstitusi sebagai momentum yang sama,” ucap dia.
Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) Prof. Dr. H Basri Modding, SE, M. Si mengungkapkan terimakasih terhadap Ketua DPD dan member DPD atas kepercayaan terhadap UMI sebagai host FGD yang bertema benar-benar menarik itu.
"Terkait tema hari ini UMI sebagai masyarakat kampus tidak mengenal adanya pembatasan dalam pencalonan Presiden. Artinya Presidential Threshold harus diubah karena memang hal itu menghambat," katanya.
Ditambahkan Basri, masyarakat kampus juga tak berharap adanya oligarki. Partai besar yang bergandengan tangan dengan pemberi modal juga tak boleh berkuasa terus.
"Makanya kita ingin ada perubahan. UMI mendukung karena hal itu untuk kepentingan rakyat," ucapnya.
Artikel ini telah tayang dengan judul: Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti Tegaskan Presidential Threshold Tak Sesuai Konstitusi, saatnya merevolusi pemberitaan!