YOGYAKARTA – Keberadaan lapo tuak tak hanya jadi pusat berkumpulnya orang-orang Batak, akan tetapi sebagai bagian penting dari warisan budaya mereka minum tuak hingga menghibur diri dengan cara bernyanyi.
Lapo tuak juga menjadi budaya yang tak bisa dipisahkan dari orang Batak. Setiap orang bisa berkunjung ke lapo tuak tak peduli status sosial mereka. Di tempat ini mereka menghibur diri dari pekerjaan dan dari peliknya hidup.
BACA JUGA:
Mengenal Lapo Tuak
Secara bahasa, istilah “lapo” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diambil dari kata “lepau” yang berarti beranda belakang rumah yang difungsikan sebagai dapur. Dalam situs Historia dikatakan bahwa kata “lapau” oleh orang Batak dilisankan menjadi “lapo”. Lapo ini yang kemudian lekat dengan tempat makan atau restoran.
Budaya berkumpul di lapo muncul dari konsep pemukiman Batak tradisional (huta) yang kemudian jadi budaya Tanah Batak, sekitaran Danau Toba, Tapanuli Utara. Awalnya, lapo menyediakan tuak yang menjadi minuman khas Batak sehingga menjadi lapo tuak.
Sejarah Lapo Tuak
Lapo tuak ternyata punya kaitan dengan masyarakat pekerja Batak. Di masa lampau, menurut Lolita Susan Ginzel, laki-laki Batak yang berprofesi sebagai peladang atau petani sering berkumpul melepas lelah. Tak ada tujuan spesifik dari aktivitas itu, mereka hanya akan bercakap-cakap atau dalam istilah Batak disebut marnonang.
Mereka akan berkumpul di rumah salah satu kerabat atau saudara mereka. Sang pemilik rumah kemudian menyuguhkan sembari minum tuak bersama, minuman khas Batak yang beralkohol rendah untuk teman ngobrol sekaligus menghangatkan badan.
Seiring berjalannya waktu, lapo tuak kemudian dibangun untuk tujuan komersil, yakni sebagai tempat makan sekaligus menjajakan tuak. Meski demikian, keberadaan lapo tuak tetap menjadi tempat berkumpulnya para pekerja atau masyarakat Batak. Lapo atau lepau diartikan sebagai tempat berjualan, sedangkan tuak berarti minuman tuak.
Lapo Tuak di Era Modern
Keberadaan tuak lapo kini tak hanya ada di Tapanuli, Sumatera Utara saja. Di beberapa kota besar juga mulai bermunculan lapo tuak.
Lapo juga semakin berkembang dengan menyajikan menu-menu lain. Transformasi tersebut dimulai pada dekade 1950-an. Adapun menu yang disajikan tak hanya sebatas tuak namun tambul (daging) yang diolah dengan khas masakan Batak, serta ikan mas.
Bahkan, beberapa lapo juga menyediakan menu lain seperti kopi, teh, bahkan menu yang lebih modern. Dengan demikian pengunjung lapo bisa menikmati menu lain selain minuman beralkohol.
Di luar Sumatera Utara, lapo menjadi semacam ruang publik yang tak hanya dikunjungi oleh para peminum dari suku tertentu, namun menjadi ruang keakraban untuk masyarakat dari berbagai suku dan wilayah. Lapo tuak juga mampu menjadi tempat membangun jaringan sosial sesama masyarakat Batak.
Lapo tuak di era modern yang ditunjang dengan alat modern juga mendukung aktivitas bernyanyi bersama. Hal itu terlihat dari fasilitas live musik yang ada di beberapa lapo di kota besar.
Lapo di Jakarta yang Populer
Ada banyak lapo di Jakarta yang cukup populer tak hanya di kalangan masyarakat secara umum, yakni sebagai berikut, diambil dari berbagai sumber.
- Lapo Sirapege
Restoran ini beralamat di Jl Sekip Ujung no 24 D, Utan Kayu, Matraman, Jakarta Pusat. Menyediakan beragam masakan Batak seperti babi panggang, babi goreng, saksang, ikan mas, sayur ubi tumbuk, sup babi, dan masih banyak lagi.
- Lapo Tabo Bah
Beralamat di Rukan Emerald, Jl. Raya Pantai Indah Kapuk, Pantai Indah Kapuk, Jakarta. Menu yang bisa dipesan seperti babi goreng, dipadu dengan sambal cabe hijau dan nasi putih. Meski berada di kawasan elit, harga yang dipatok relatif terjangkau.
Itulah informasi tentang lapo tuak yang menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Batak. Untuk membaca tulisan Muhammad Aan atau informasi menarik lainnya, kunjungi VOI.ID.