YOGYAKARTA - Tantangan demokrasi di Indonesia didominasi oleh politik transaksional dan maraknya penyebaran informasi hoaks. Padahal, kualitas kepemimpinan ditentukan oleh proses pemilihan pemimpin. Pemilih perlu lebih cermat dalam melihat rekam jejak dan pengkaderan calon pemimpin.
Penyataan tersebut disampaikan oleh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. dalam Seminar Kebangsaan bertajuk “Penguatan Kontribusi dalam Pembangunan Demokrasi Pasca-Tri Dharma Perguruan Tinggi” di Aula Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Provinsi D.I. Yogyakarta pada Selasa (28/02) pagi.
BACA JUGA:
“Perguruan tinggi sering gamang terlibat dalam wilayah politik, khawatir dianggap partisan dan tidak independen. Padahal kampus adalah kawah candradimuka mempersiapkan pemimpin bangsa. Padahal, peran perguruan tinggi sangat dibutuhkan dalam rangka mengcounter tantangan demokrasi hari ini,” ujar Senator asal Yogyakarta tersebut.
Menurut pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut, peran perguruan tinggi dapat dimaksimalkan pada sisi kontrol sosial. Peran pertama sebagai pengawas dan pemantau pemilu. Perguruan tinggi berfungsi sebagai penjaga etika dan sistem nilai yang sangat dibutuhkan agar proses demokrasi tidak tercederai.
Peran kedua sebagai fasilitator. Perguruan tinggi, menurut Gus Hilmy, jangan apatis dan anti-politik. Momentum 2024 dapat dimanfaatkan kampus untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat agar tidak terlibat dalam berbagai bentuk kecurangan, memilih calon yang berkualitas, memberi pemahaman soal-soal kelembagaan yang akan dihasilkan oleh pemilu, baik melalui seminar, maupun kampanye.
Peran ketiga sebagai advokasi. Kampus harus menjadi pembela hak-hak rakyat ketika terjadi proses pelanggaran hak-hak masyarakat. Kampus bisa membuka posko pengaduan pemilu.
Dan peran keempat sebagai edukator. Dengan tingkat pendidikan masyarakat kita yang belum sepenuhnya melek politik, pendidikan politik bagi masyarakat sebenarnya bisa diambil oleh kampus, yaitu dengan mendorong partisipasi pemilih pemula, di samping meningkatkan partisipasi politik.
“Peran sosial ini tidak hanya menjadi tanggung jawab perguruan tinggi, tetapi juga siapa saja yang pernah terlibat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma ini semestinya tidak lepas dari seorang mahasiswa ketika ia lulus, tetapi justru semakin kuat dengan menjadikan Tri Dharma sebagai pijakan dalam berkarya secara nyata di masyarakat,” kata pria yang juga sebagai Katib Syuriah Pengurus Besar Nadlatul Ulama tersebut.
Acara yang bekerja sama dengan Ikatan Alumni Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta tersebut, juga menghadirkan Rektor UPNV Yogyakarta Prof. Dr. M. Irhas Effendi, M.Si dan Ketua Umum Ikatan Alumni (IA) UPNV Yogayakarta H. Zahrul Azhar A, S.IP., M.Kes. Peserta yang hadir merupakan alumni UPNV Yogyakarta lintas jurusan dan angkatan.
Ketua Umum IA UPNV Yogyakarta menyatakan bahwa alumni perguruan tinggi memiliki kasta tertinggi dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.
“Sebagai pemilik kasta tertinggi, para alumni perguruan tinggi semestinya menjadi subjek dalam demokrasi kita. Di antara jalannya adalah terlibat dalam politik. Tetapi perlu ditekankan bahwa politik ini sebagai alat, sebagai wasilah, sementara tujuannya adalah kemanusiaan,” ujar pria yang juga Wakil Rektor Bidang Pengembangan dan Kerja Sama Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Jombang tersebut.
Sementara Prof. Irhas menekankan kesadaran pemilih terhadap calon yang dipilihnya. Setiap pemilih, menurutnya harus tahu visi dan misi para calon pemimpin.
“Faktor utama dalam kepemimpinan kita justru terletak pada pemilihnya. Jangan sampai kalah dengan berbagia iming-iming tanpa melihat visi dan misi calon yang kita pilih. Selain itu, syarat seorang pemimpin harus memiliki komitmen yang kuat dan memegang teguh nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945,” ujar Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Bisnis tersebut.