YOGYAKARTA – Sikap toleran bukan berasal dari keadaan lemah, atau rasa takut, atau sikap kepepet. Justru karena kita mampu, kita kuat, kita mayoritas, tapi kita tidak berlaku semena-mena, memberikan ruang kepada yang lemah untuk beraktivitas asal tidak mengganggu yang lain. Kita berbesar hati, sabar atas apa yang terjadi. Itulah inti dari toleransi. Toleran justru muncul dari kuatnya keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. dalam kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Pondok Pesantren Ummu Sa’adah, Mantrijeron, Kota Yogyakarta, pada Sabtu, 20 Juli.
BACA JUGA:
“Sikap toleran itu berat dijalani karena membutuhkan kesabaran dan kebesaran hati. Oleh karena itu, sikap ini hanya bisa dilakukan oleh pembesar yang sering diistilahkan dengan “negarawan”,” kata pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut dalam memaparkan materi sosialisasi yang bertema "Toleransi dalam Alquran, Konteks Berbangsa dan Budaya".
Sebagai negarawan, lanjut pria yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tersebut, orang yang toleran akan memaafkan kesalahan seseorang padahal mampu untuk menghukumnya, memaklumi “kehendak” lain yang berbeda dengan kemauannya, serta tidak menganggap penting hal-hal berbeda yang memang sepele dan tidak penting.
“Seorang negarawan pasti menjamin toleransi, sebab dia menyadari bahwa kita itu berbeda, baik bahasa, latar belakang, karakternya, dan lain sebagainya. Perbedaan itu menjadi anugerah. Dengan perbedaan itu, dia kemudian membiarkan itu semua berlaku dan berjalan dengan baik,” papar Gus Hilmy.
Dalam konteks Islam, menurut Gus Hilmy, tidak ada satu ayat pun dalam Alqur’an yang mengancam agama lain. Ajaran-ajaran Islam meneguhkan umatnya untuk saling bertenggang rasa.
“Bahkan Kanjeng Nabi Muhammad diperintahkan memaafkan kepada orang yang sudah mengkhianatinya. Dan Allah Subhanahu Wata’ala tidak melarang kita untuk berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita meski berbeda keyakinan,” tutur salah satu pengasuh Pondok Pesantren Krapyak tersebut.
Sebagai contoh atas ajaran tersebut, Gus Hilmy mengilustrasikan kehidupan di pondok pesantren. Para santri senantiasa menerapkan prinsip-prinsip toleransi sehingga kehidupan di pondok pesantren senantiasa damai dan kondusif untuk belajar.
“Jadi mari bersyukur karena kita berada dalam pondok pesantren dan diajarkan praktik toleransi secara langsung bersama sesama teman dan santri. Betapa damainya kita jika seluruh kehidupan berbangsa kita memiliki hubungan seperti santri di sini,” pesan anggota Komisi Fatwa MUI Pusat tersebut.
Hadir pula dalam kesempatan tersebut, Wakil Rektor II UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, M.A., Pengasuh PP Ummu Saadah KH. Zaky Muhammad, Lc., dan Dr. Fatma Zuhrotun Nisa, S.Tp., M.P. (Pengasuh PP Ummu Saadah).
Menurut Prof. Sahiron, untuk menjalankan toleransi, dibutuhkan piranti, di antaranya sudah disiapkan oleh negara melalui program moderasi beragama.
“Terdapat empat hal yang harus dilakukan untuk mencapai toleransi, yaitu bersikap terbuka terhadap agama dan aliran yang berbeda, anti-kekerasan, menghormati budaya lokal, komitmen kebangsaan. Sosialisasi empat pilar ini menjadi salah satu sarana komitmen kebangsaan,” papar Guru Besar UIN Sunan Kalijaga tersebut.
Lebih lanjut, Prof. Sahiron menyatakan bahwa indikator toleran dalam sebuah masyarakat telah tercapai jika kita mengakui eksistensi dan menghormati agama, keyakinan, atau aliran lain, saling menjamin hak-hak orang lain, bebas menyampaikan argumentasi, tidak mencaci maki, tidak mengklaim kebenaran eksklusif di ruang publik.
Sementara itu, Nyai Hj. Fatma menyambut baik kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR tersebut. Menurutnya, kegiatan ini penting diikuti oleh santri sebagai upaya penguatan ideologi santri.
“Materi ini sangat penting untuk kita ketahui dan pahami karena merupakan dasar dari ideologi bangsa kita. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita wajib mengetahuinya agar dapat mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita tinggal menyinkronkan ideologi negara dengan ideologi beragama Islam,” kata dosen Gizi Kesehatan UGM itu.