Menlu Retno Sebut Separuh Populasi Dunia adalah Perempuan, Tapi Pemberdayaan dan Kesetaraan Jauh dari Kata Ideal
Menlu Retno di pertemuan DK PBB. (Sumber: Kemlu RI)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan, perempuan menjadi korban pertama di setiap konflik dunia, dengan belum setaranya pemberdayaan dan kesetaraan, meski populasinya mencapai separuh dunia.

Itu disampaikan Menlu Retno dalam debat terbuka Dewan Keamanan PBB mengenai partisipasi perempuan dalam perdamaian dan keamanan internasional di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, Rabu waktu setempat.

"Perempuan mencakup separuh populasi dunia. Karena itu, perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari solusi dan agen perdamaian yang efektif," ujar Menlu Retno, dalam keterangan Kementerian Luar Negeri RI, Rabu 26 Oktober.

Dalam kegiatan yang diinisiasi oleh Brasil selaku Presiden DK PBB, Menlu Retno mengungkapkan, lebih dari 60 persen korban kekerasan di Gaza adalah perempuan dan anak-anak.

Menurutnya, kondisi itu menunjukkan realitas dunia saat ini, di mana perempuan selalu menjadi korban dalam setiap konflik kekerasan.

"Harus saya sampaikan dengan jujur, meski telah ada upaya global untuk pemberdayaan dan kesetaraan perempuan, namun realitasnya masih jauh dari ideal," ungkap Menlu Retno.

Di berbagai belahan dunia, lanjutnya, perempuan menjadi korban pertama dari setiap konflik. Fenomena ini harus membangkitkan kesadaran semua pihak untuk memberikan perhatian lebih besar kepada agenda Women, Peace, and Security (WPS).

Untuk itu, katanya, ada tiga hal yang perlu didorong.

Pertama, membangkitkan kembali pemahaman mendasar mengenai partisipasi perempuan. Memberdayakan dan merangkul perempuan tidak boleh dilihat sebagai beban, tetapi harus dilihat sebagai investasi, yang harus menjadi standar global.

"Pemberdayaan dan partisipasi perempuan di sektor ekonomi, sosial, dan politik akan memperkuat ketahanan masyarakat dan berkontribusi bagi perdamaian. Ini saya

saksikan sendiri, termasuk melalui kontribusi positif personel perempuan dalam misi perdamaian di lapangan," jelasnya.

Kedua, mendorong kepemimpinan perempuan dalam proses perdamaian. Dikatakannya, data menunjukkan partisipasi perempuan memperbesar peluang tercapainya

perundingan damai.

Namun pada kenyataannya, perempuan justru kurang terwakili dalam proses perdamaian dan sering kali tidak dibekali kemampuan menjalankan peran dalam situasi konflik.

"Oleh karena itu, kita harus berinvestasi lebih besar, termasuk di sistem PBB, guna memastikan lingkungan yang aman dan kondusif bagi perempuan agar mereka sukses berperan dalam proses perdamaian global," papar Menlu Retno.

Ketiga, memajukan pendidikan bagi perempuan. Menurut Menlu Retno, pendidikan memegang perang kunci dalam meningkatkan peran perempuan di masyarakat.

Namun demikian, lebih dari 80 persen perempuan usia sekolah di Afghanistan tidak bersekolah. Ini sangat mengkhawatirkan. Pendidikan inklusif menjadi fondasi penting untuk masa depan Afghanistan yang lebih baik.

"Oleh karena itu, Indonesia bekerja keras untuk memajukan akses pendidikan perempuan Afghanistan," kata menlu Retno.

Ia menambahkan, Indonesia juga berkomitmen memberikan beasiswa dan pelatihan bagi perempuan Afghanistan, serta terus berkontribusi membangun lingkungan yang kondusif bagi perdamaian abadi di Afghanistan.

"Perdamaian dan keamanan global hanya bisa diwujudkan dengan peran perempuan. Indonesia akan terus berada di garis depan dalam upaya ini demi dunia yang lebih baik bagi kita semua, termasuk perempuan," pungkas Menlu Retno.