Anita Wahid Minta Presiden Jokowi Batalkan Pemberhentian 51 Pegawai KPK
Presiden Joko Widodo (Foto: Twitter @jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Deputi Direktur Public Virtue Research Institute (PVRI), Anita Wahid menyesalkan belum dibatalkannya keputusan pimpinan KPK yang memberhentikan 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meskipun sudah sebulan lebih.

Presiden Joko Widodo didesak membatalkan pemberhentian tersebut. Badan Kepegawaian Negara (BKN) juga didesak agar membuka dokumen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dijadikan dalih menyingkirkan 51 pegawai KPK. 

“Pemberhentian pegawai KPK merupakan gejala regresi demokrasi yang menumpulkan institusi dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Akibatnya, kekuasaan pusat maupundaerah semakin sulit dikontrol. Kami mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan keputusan tersebut” kata Anita dalam pernyataannya diterima VOI, Senin, 21 Juni.

Dia menambahkan, PVRI mendesak BKN agar membuka dokumen TWK. Presiden, lanjutnya, juga harus memastikan bahwa tidak ada pelanggaran hak-hak pegawai KPK dalam proses TWK.

"Presiden wajib  menginstruksikan jajaran kepolisian agar mengusut segala bentuk teror dan ancaman kepada para pegawai KPK, baik saat mengusut korupsi maupun saat mempertanyakankeputusan pimpinan KPK. Perlu ada pula perlindungan hukum dan jaminan keamanan,” lanjut Anita.  

Anita merujuk kajian akademisi dari University of Sydney Thomas Power yang mengemukakan bahwa pelemahan KPK tak hanya dilakukan lewat metode kekerasan saja. Cara lainnya meliputi penempatan elite politik di luar jangkauan KPK, delegitimasi diskursif berupa labelisasi “taliban” terhadap penyidik-penyidiknya, pengangkatan perwira aktif polisi menjadi pimpinan KPK, dan pelemahan struktural serta agensial.

Yang terbaru, 51 pegawai KPK diberhentikan akibat tak lolos Tes Wawasan Kebangasaan (TWK) saat proses alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tiga lembagainternasional seperti Transparency International, Greenpeace, dan Amnesty International menyurati Presiden karena menilaipemberhentian ini tidak memiliki dasar hukum, menyalahi asas-asas good governance, dan merupakan diskriminasi sistematis, dan melanggar hak-hak asasi khususnya hak parapekerja.