Negara dengan Potensi Besar Gempa dan Tsunami, Sesiap Apa Sistem Mitigasi Bencana Indonesia?
Gempa bumi dan tsunami Aceh (Foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Siang hari ini, wilayah tengah Indonesia diguncang gempa yang berpotensi mengakibatkan tsunami. Beruntung Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah mencabut peringatan dini tsunami di Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut. Kendati begitu kita diimbau harus tetap mewaspadai gempa dan bencana alam lainnya.  Sesiap apa sistem mitigasi bencana negara ini?

Gempa bumi bermagnitudo 7,4 terjadi di Laut Flores pada 10.20 pagi tadi. Pusat gempa berada pada jarak 112 km arah barat laut Kota Larantuka, Nusa Tenggara Timur, di kedalaman 10 KM.

Salah satu daerah yang paling terdampak gempa adalah Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Beberapa video amatir merekam bagaimana gempa merusak bangunan seperti masjid hingga rumah warga.

Sementara itu, kepanikan warga di Pulau Karumpa, Kabupaten Selayar terekam saat lari ke gunung untuk mencari tempat yang lebih tinggi. Gempa ini juga dirasakan warga di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.

Pasca gempa, warga Desa Banabungi, Kecamatan Pasar Wajo yang tinggal di pesisir pantai mengaku melihat air laut naik cepat. Kabar naiknya air laut ini membuat warga panik dan meninggalkan rumah untuk pergi ke bukit.

Situasi saat gempa terjadi di Laut Flores (FOTO: ANTARA)

Warga yang panik menunggu di atas bukit memantau tinggi muka air laut. Karena beredar informasi air laut naik setinggi setengah meter. Namun Kapolsek Pasar Wajo seperti dikutip Kompas TV menyebut, air laut sempat naik sekitar 20 sentimeter dan kembali normal.

Pada 12.30 BMKG mencabut peringatan dini tsunami bagi lima provinsi yakni NTB, NTT, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Namun BMKG mengimbau kepada masyarakat agar tetap mewaspadai terjadinya gempa susulan.

Negeri rawan bencana

Menilik kondisi geografisnya, tak heran kalau Indonesia sering diguncang gempa. Sebab negeri ini berada di jalur Cincin Api Pasifik (Ring of FIre) sehingga rawan gempa bumi.

Valentinus Irawan, analis penanggulangan bencana United Nations Development Programme (UNDP), pernah memperingatkan, dalam 20 tahun ke depan Indonesia akan menghadapi ancaman dari berbagai dampak yang disebabkan oleh bencana. Kita harus lebih siap menghadapi kemungkinan buruk tersebut.

"Ke depan dampak risiko bencana yang berinteraksi dengan perubahan iklim, kerusakan lingkungan hidup, pembangunan dan pertumbuhan penduduk akan semakin meningkat dan menjadi tantangan bagi pembangunan manusia," katanya saat memaparkan analisisnya, seperti dikutip situs BNPB.

Dalam dokumen Kajian Nasional Bahaya Tsunami untuk Indonesia (2013) yang dibuat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Australian Agency for International Development (AusAID) mengungkapkan, sebgian besar wilayah Indonesia memiliki peluang 10 persen untuk mengalami peringatan tsunami dengan ketinggian antara 0,5 - 3.0 meter dalam kurun setiap tahunnya. Dan lokasi dengan peluang terbesar (>10 persen) mengalami tsunami adalah pesisir barat Sumatera, Selatan Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan lokasi dengan peluang lebih kecil (2-10 persen) yakni wilayah Timur Indonesia seperti Papua Utara, Sulawesi, dan Maluku.

Peta kemungkinan tsunami (Sumber: Kajian Nasional Bahaya Tsunami untuk Indonesia)

Dari peristiwa hari ini, ditambah berbagai kajian tersebut, sudah jelas bahwa Indonesia harus serius dalam mitigasi bencana. Lantas strategi mitigasi seperti apa yang sudah dibuat?

Seperti dikutip dari Buku Saku Tanggap Tangkas Tangguh Menghadapi Bencana terdapat beberapa strategi mitigasi dan upaya pengurangan risiko dari BNPB. Pertama adalah pembangunan sistem peringatan dini tsunami.

Kedua, pembangunan tempat evakuasi (shelter) di sekitar daerah pemukiman, pembangunan tembok penahan tsunami pada garis pantai yang berisiko. Ketiga ada penanaman mangrove serta tanaman lainnya di sepanjang garis pantai terutama lokasi yang rawan, untuk meredam gaya air tsunami.

Keempat, yakni meningkatkan pengetahuan masyarakat lokal khususnya yang tinggal di pinggir pantai tentang tsunami dan cara-cara penyelamatan diri terhadap bahaya tsunami. Terakhir, secapat mungkin melaporkan jika mengetahui tanda-tanda akan terjadinya tsunami kepada petugas yang berwenang. Lantas apakah strategi mitigasi ini sudah cukup?

Sebagai perbandingan, kita bisa melihat negara yang sama-sama rawan bencana alam dan pernah mengalami tsunami besar: Jepang. Bagaimana sistem mitigasi bencana di Jepang khususnya untuk menghadapi tsunami?

Mitigasi tsunami Jepang

Satu dekade lalu, lebih tepatnya pada 11 Maret 2011, Jepang diguncang gempa berkekuatan 9,0 magnitudo. Itu adalah salah satu yang terbesar di dunia.

Bencana yang dikenal dengan nama Gempa Tohoku atau Gempa Fukushima itu memicu tsunami yang menghancurkan perkotaan, serta merobohkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi. Lebih dari 18.000 orang tewas yang sebagian besar akibat tsunami, dan hampir setengah juta warga mengungsi.

Mimpi buruk tak berhenti sampai situ. Associated Press (AP) mewartakan, 40.000 lebih warga masih tidak bisa pulang ke rumah di Fukushima dan sekitarnya, karena terdampak kontaminasi radioaktif.

Bencana gempa dan tsunami besar 2011 itu meninggalkan banyak pelajaran, bukan hanya menyangkut kebijakan mitigasi bencana, tapi juga pembangunan Jepang secara komprehensif. Mereka melakukan perubahan drastis untuk membangun ketahanan nasional yang bertujuan menciptakan wilayah yang aman dan terjamin, dan masyarakat ekonomi yang berkekuatan dalam menghadapi bencana.

Shunichi Koshimura dan Nobuo Shuto dalam penelitiannya "Response to The 2011 Great East Japan Earthquake and Tsunami Disaster" menjelaskan untuk daerah-daerah yang terkena bencana, pemerintah pusat telah mengubah kebijakan perlindungan pantai dari sudut pandang mitigasi bencana. Sementara pemerintah daerahnya dengan sigap langsung membuat rencana rekonstruksi termasuk desain infrastruktur, transportasi, pengelolaan penggunaan lahan, desain perkotaan, relokasi, model ekonomi dan industri.

Anggaran yang digelontorkan pemerintah Jepang pun tak main-main. "Empat tahun telah berlalu sejak peristiwa itu terjadi, dan anggaran nasional sebesar 25.000 miliar yen telah dialokasikan untuk upaya rekonstruksi selama 5 tahun," tertulis.

Upaya nyata keseriusan Jepang untuk memitigasi bencana tsunami adalah dengan mengembangkan sistem peringatan dini tsunami. Japan Meteorological Agency (JMA) lembaga yang bertanggung jawab untuk memberikan peringatan dan mengestimasi kisaran tinggi gelombang tsunami, telah mengembangkan sistem baru sejak 1999.

Sistem ini bahkan terus diperbarui dalam jangka waktu tertentu. Untuk itu JMA yakin sistem peringatan dini tsunami mereka memiliki teknologi terbaik di dunia. Dan sistem peringatan ini juga banyak diadopsi negara lain seperti Thailand, Meksiko, Peru, dan tak terkecuali Indonesia.

"JMA menyiapkan database simulasi tsunami yang telah dilakukan sebelumnya untuk lebih dari 100.000 skenario gempa di seluruh Jepang. Isi peringatan diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, menurut perkiraan tinggi tsunami: 'tsunami besar' (diperkirakan lebih dari 3 m), 'tsunami' (diperkirakan 1 atau 2 m) dan 'peringatan' (0,5 m atau kurang)."

Namun secanggih apa pun teknologi, hal itu menurut Koshimura dkk, tetap masih ada keterbatasannya. "Informasi peringatan tsunami dapat memberi tahu orang-orang bahwa mereka dalam bahaya, tetapi tidak dapat menjamin keselamatan orang-orang."

*Baca Informasi lain tentang BENCANA ALAM baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya