Harga Bahan Pokok Naik: Kesabaran dan Ketahanan Masyarakat Indonesia Sedang Diuji
Ilustrasi pedagang kebutuhan pangan di pasar tradisional. Harga bahan pokok naik menjadi ujian tersendiri bagi masyarakat Indonesia dalam bertahan hidup. (ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA – Koes Plus pernah melukiskan dalam lirik lagu Kolam Susu bahwa Indonesia adalah tanah surga, ikan dan udang bisa menghampiri, tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman. Namun kini di tengah harga bahan pokok naik, masihkah kita optimistis?

Kesabaran dan kemampuan daya beli masyarakat sedang diuji oleh kenaikan harga beberapa komoditas pangan. Gejolak harga pangan masih menjadi konsumsi media massa dan menjadi pembicaraan masyarakat. Kenaikan harga komoditas yang paling menyita perhatian adalah minyak goreng.

Apalagi setelah pemerintah melepas harga minyak goreng mengikuti mekanisme pasar, yang membuat harganya melonjak tinggi. Walau telah berjalan beberapa bulan, persoalan stok dan kenaikan harga minyak goreng belum menemukan titik terang.

Dalam periode yang sama, muncul juga kelangkaan komoditas lain seperti kedelai, daging sapi dan cabai. Kelangkaan bahan pangan secara global, ragam persoalan domestik, kurangnya pasokan dalam negeri menjadi alasan naiknya harga hingga kelangkaan. Kondisi itu semakin menekan kemampuan daya beli masyarakat.

Pertengahan Februari 2022, terjadi aksi mogok produsen tahu tempe karena harga kedelai impor yang harganya meroket. Harga kedelai mencapai Rp11.000-Rp12.000 per kilogram, atau naik 30-40 persen dibandingkan harga yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp8500 per kilogram.

Daging sapi juga mengalami lonjakan harga karena pembatasan ekspor sapi yang dilakukan Australia. (ANTARA)

Kenaikan harga kedelai dipicu oleh terbatasnya pasokan impor lantaran cuaca buruk yang terjadi di negara produsen kedelai. Selain itu juga dipengaruh oleh tingginya permintaan di China untuk kebutuhan pakan ternak.

Daging sapi pun ikut serta dalam daftar komoditas  yang mengalami lonjakkan harga. Awal Maret 2022, harga daging sapi di pasaran tembus hingga Rp140.000 per kilogram, dibanding sebelumnya dikisaran harga  Rp110.000-Rp120.000 per kilogram.

Penyebab utamanya adalah karena kebijakan Australia mengurangi ekspor sapi, sebagai upaya membatasi jumlah sapi yang dipotong untuk repopulasi. Karena selama ini Indonesia hanya mengimpor sapi dari Australia.

Seperti kisah tahu dan tempe, kenaikan ini juga diwarnai aksi mogok. Dampaknya pun meluas hingga ke sejumlah usaha turunan seperti pedagang bakso.

Kondisi harga bahan pokok naik pun semakin panas dan pedas, karena harga cabai di pasaran juga ikut naik hingga dua kali lipat. Cabe rawit sebelumnya berada dikisaran Rp35.000 per kilogram, naik menjadi Rp60.000-Rp70.000 per kilogram. Lonjakan harga dipicu oleh cuaca ekstrem yang membuat pasokan cabai berkurang. Selain itu kelangkaan pupuk bersubsidi membuat petani mengurungkan niatnya untuk menanam cabai.

Ancaman Rawan Pangan

Serbuan kenaikan secara berbondong-bondong itu berujung pada tekanan di kalangan masyarakat, karena komoditas yang mengalami kenaikan merupakan konsumsi keseharian masyarakat. Ketergantungan masyarakat pada komoditas tersebut masih tinggi, termasuk kebutuhan akan minyak goreng. Komoditas seperti tahu dan tempe juga sulit dilepaskan dari masyarakat Indonesia, karena selain sumber protein juga mudah ditemukan dengan harga yang terjangkau.

Pada bulan Maret 2020, Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS menunjukkan, rata-rata orang Indonesia mengonsumsi tahu dan tempe sebanyak 37 potong dalam sebulan. Tidak hanya di pedesaan, namun juga di perkotaan masyarakat selalu menyertakan sumber protein nabati tersebut untuk menu.

Turbulensi harga pangan bersamaan dengan pandemi COVID-19. Banyak keluarga kehilangan pendapatan yang berdampak pada kerentanan rawan pangan.

Tempe dan tahu sempat langka karena kenaikan harga kedelai impor yang luar biasa. (ANTARA)

BPS mencatat sekitar 29,12 juta orang atau 14,28 persen penduduk usia kerja terdampak pandemi. Terjadi penurunan upah buruh rata-rata 5,18 persen dari Rp2,91 juta per bulan pada Agustus 2019 menjadi Rp2,76 juta pada Agustus 2020.

Survei Bank Dunia bertajuk ”Indonesia High-frequency Monitoring of Covid-19 Impacts” mendapati 13 persen rumah tangga melaporkan kekurangan makanan yang lebih buruk, akibat pendapatan pada kurun Mei-Agustus 2020 menurun. Pengurangan pendapatan itu berkisar 35-50 persen di seluruh sektor.

Survei ini menjadi ironis, karena  Indonesia kaya akan potensi sumber daya alam. Indonesia menjadi salah satu negara dengan karunia hamparan daratan yang sangat luas. Merujuk data Bank Dunia 2018, total area Indonesia seluas 1,88 juta kilometer persegi atau 1,4 persen dari luas lahan seluruh dunia. Angka itu pun membawa Indonesia masuk dalam jajaran 15 negara dengan lahan terluas di dunia, bersama China, Rusia, Amerika Serikat, India, hingga Meksiko.

Dari total luas tersebut, sepertiga bagian lahan di Indonesia digunakan untuk pertanian. Seharusnya mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya dan tidak terus dihadapkan pada masalah gejolak stok pangan.

Ketahanan Pangan

Sebelumnya  Indonesia juga pernah mengalami kelangkaan bahan pangan. Tahun 2008, pernah terjadi kelangkaan minyak goreng serta tahu dan tempe. Harga minyak goreng melambung karena tingginya harga minyak sawit mentah (CPO), demikian juga pada tahun 2011.

Berdasarkan laporan Economist Impact, skor indeks ketahanan pangan global (GFSI) di Indonesia pada 2021 berada di skor 59,2 (kategori moderat). Skor indeks tersebut turun 2,2 poin dari tahun sebelumnya.

Padahal, di tahun pertama pandemi (2020), skor menunjukkan bahwa indeks ketahanan pangan Indonesia sudah mencapai kategori baik (61,4). Bahkan nilainya naik satu poin jika dibandingkan tahun sebelumnya, dan menduduki peringkat ke-62 dari 113 negara yang dipantau.

Merujuk laporan Departemen Pertanian AS (USDA), kerawanan pangan di Indonesia tergolong tinggi. Tahun 2021, kerawanan pangan di Indonesia dialami oleh 42,2 juta jiwa, sekitar 15,7 persen dari populasi. Di antara negara-negara Asia Tenggara, hampir setengah dari populasi rawan pangan berada di Indonesia.

Masyarakat mengantre minyak goreng curah lantaran kelangkaan dan kenaikan harga bahan pokok ini. (ANTARA)

Hal ini mengindikasikan bahwa masalah pangan di Indonesia cukup serius. Sementara, penanganan ketahanan pangan di Indonesia dapat dikatakan belum memadai.

Di sisi lain, stok pangan di tingkat global juga bergejolak dan ketergantungan Indonesia akan impor pangan masih tinggi. Menurut catatan Kementerian Perdagangan, impor barang konsumsi Indonesia sepanjang tahun 2021 mencapai 20,18 miliar dollar AS, atau setara Rp284,54 triliun.

Ramadhan dan Hari Raya Idufitri tinggal hitungan hari, yang selalu mendorong peningkatan permintaan pada semua komoditas pangan, tak terkecuali pada sejumlah komoditas yang kini harganya telah melambung tinggi.

Indonesia dilimpahi tanah subur dan kekayaan alam melimpah. Namun harga bahan pokok naik, kerawanan pangan, dan ketahanan sumber daya alam masih menjadi tantangan pemerintah demi mewujudkan kesejahteraan warganya. Hal ini menuntut peran dan komitmen para pemangku kebijakan dalam mengambil setiap keputusan. Karena sungguh ironis, jika Indonesia dikaruniai tanah surga namun tidak dimanfaatkan sebagai penghasil makanan.