Bagaimana Pilpres AS Memengaruhi Perubahan Iklim
Ilustrasi (Raga Granada/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) tak pernah sekadar pesta demokrasi. Hasilnya tak cuma penting bagi nasib masyarakat AS, tapi juga membawa pengaruh besar bagi kehidupan dunia, termasuk perubahan iklim.

AS adalah negara adidaya. Segala kebijakannya kerap kali berpengaruh secara global. Namun, tahun ini ada alasan lebih konkret. Satu hari setelah pemilihan, AS resmi keluar dari perjanjian Paris yang telah dijalin sejak 2015.

Melansir CNA, Senin, 19 Oktober, para ilmuwan iklim dunia ramai-ramai menyatakan rasa prihatin sekaligus kekecewaan terhadap keputusan AS keluar dari perjanjian Paris. Posisi AS jelas penting di sana. Tanpa AS, upaya melawan perubahan iklim akan pincang.

Para ilmuwan menyebut Trump sebagai salah satu sumber masalah besar. Trump, belakangan memang santer dengan narasi bahwa perubahan iklim adalah tipuan besar.

Trump bahkan telah menerbitkan berbagai kebijakan yang mementahkan berbagai standar kepedulian lingkungan. “Tindakan tanda tangan Trump tentang gangguan iklim telah mengurangi pendirian moral kita, membawa kita dari pemimpin ke terbelakang,” kata ilmuwan iklim, Michael Mann.

Michael menambahkan tanpa kepemimpinan iklim dari AS, kemampuan dunia dalam agenda nyata melawan perubahan iklim takkan berdampak signifikan. "Saya khawatir seluruh dunia tidak akan menanggapi dengan cukup serius kewajiban mereka untuk mengurangi emisi pada waktunya untuk menghindari dampak terburuk perubahan iklim.”

Atau pun jika Trump kalah dan Biden terpilih, mengembalikan keterlibatan AS dalam perjanjian Paris tetap bukan perkara mudah dan membutuhkan waktu lama. "Itulah mengapa saya menyebut ini pemilihan yang berhasil atau gagal dalam hal iklim,” tambahnya.

Ada harapan

Fakta bahwa perubahan iklim telah memperparah bencana alam, seperti badai, kebakaran hutan, banjir, dan longsor makin nampak. Di tengah kondisi itu, perjanjian Paris 2015 jadi salah satu upaya penting dunia melawan perubahan iklim.

Berdasar kesepakatan di Paris, negara-negara yang berpartisipasi sepakat membatasi pemanasan global jauh di bawah 2 derajat celcius. Bahkan, AS sebelumnya telah berupaya mengurangi emisinya sebesar 26 persen.

Lalu, pada 2016, terpilihnya Trump sebagai Presiden AS mengganggu perjanjian tersebut. Puncaknya, AS bersumpah menarik diri sepenuhnya dari perjanjian Paris.

Presiden AS Donald Trump (Sumber: Commons Wikimedia)

Para ilmuwan iklim memandang hal itu sebagai skenario terburuk dan membuat negara-negara yang ada semakin jauh terhadap komitmen memperlambat perubahan iklim. Namun, Direktur Power Shift Africa Mohamed Adow mengatakan, di satu sisi, keluarnya AS justru membuat banyak negara lain dapat berkontribusi lebih penuh.

Ia bahkan menyebut keputusan Trump memberi ilham kepada banyak negara lain tentang kekuatan mereka masing-masing. "Dia telah menjadi tes terakhir dan meskipun serangan frontal penuh, tidak ada orang lain yang mengikuti kebodohannya dan keluar dari perjanjian," katanya.

Faktanya, dengan rencana keluarnya AS dari perjanjian Paris, negara penghasil emisi besar lainnya mulai mengisi kekosongan dalam kepemimpinan melawan perubahan iklim. Ambil contoh, Komisi Eropa yang sekarang ini mulai meningkat pengurangan emisi sebesar 55 persen pada tahun 2030.

Kepala delegasi perjanjian Paris (Sumber: Commons Wikimedia)

Tak hanya itu, seteru AS, China juga telah berkomitmen ikut andil dalam melawan perubahan iklim. Oleh sebab itu, China berpotensi sebagai negara yang akan memimpin jalannya perlawanan dunia terhadap perubahan iklim.

Utusan Belize untuk PBB, Lois Young bahkan menuduh Trump melakukan Ekosida. Dalam artian, keluarnya AS dari Perjanjian Paris menjadi dasar Trump melanggengkan pemusnahan sumber daya alam secara terstruktur, sistematis, dan masif.

"Jika mereka (negara lain) bergabung dan meninggalkan Amerika, mengikuti jejak China, saya pikir itu akan meminimalkan kerusakan," katanya.

AS tetap penting

Namun pada realitanya, AS tetap menjadi tokoh penting dalam perlawanan terhadap perubahan iklim. Negosiator utama Prancis dalam perjanjian Paris, Laurence Tubiana mengungkap seluruh dunia justru tak dapat mengompensasi emisi dari AS. Terlebih lagi, AS sendiri tak peduli dengan emisinya yang begitu besar.

Sekalipun, banyak perusahaan AS secara mandiri mengurangi emisi karbonnya sendiri, tetap saja upaya tersebut tak akan cukup karena kunci utama perlawanan perubahan iklim ada di tangan pemerintah AS. Dalam konteks ini, ketika Trump terpilih kembali, maka hal itu akan menjadi berita yang sangat buruk bagi agenda penyelamatan lingkungan hidup di seluruh dunia.

Tubiana melihat hadirnya Biden sebagai penantang Trump dapat membawa angin segar yang akan mengembalikan AS kepada perjanjian Paris. Hal itu karena dalam tiap kampanyenya Biden kerap menyampaikan komitmen melawan perubahan iklim.

Biden bahkan telah mengumumkan besaran dana 2 triliun dolar AS yang akan dialokasikan untuk melawan perubahan iklim. "Tidak ada tantangan yang lebih penting daripada perubahan iklim," ucap Biden.

Biden pun tak sendirian. Kepedulian akan perubahan iklim sejalan dengan apa yang diinginkan oleh 60 persen warga AS. Dalam survei terbaru Pew Research Center tahun ini, sekitar 60 persen warga AS juga menganggap perubahan iklim merupakan ancaman utama bagi kesejahteraan AS.