Enam Fakta Mutasi COVID-19 yang Memaksa Inggris <i>Lockdown</i>, Sudah Masuk Indonesia?
Ilustrasi foto (Etienne Godiard/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Inggris telah menetapkan lockdown nasional. Hal itu dilakukan untuk merespons sebaran virus corona varian baru. Seperti apa sebenarnya mutasi virus corona baru di Inggris? Sudah terdeteksi kah di Indonesia?

Banyak pihak terkejut dengan perkembangan kasus COVID-19 di penghujung tahun 2020. Mereka lebih kaget lagi ketika analisis genom virus corona menunjukkan ada sekelompok mutasi atau varian baru pada lebih dari 50 persen kasus COVID-19 di Inggris.

Belum banyak informasi detail yang dapat dibagikan. Setidaknya ada lima fakta yang dapat kami paparkan mengenai varian baru corona di Inggris. Fakta-fakta ini tercantum dalam Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus Disease 2019.

PM Inggris Boris Johnson (Twitter/@BorisJohnson)

1. Lebih cepat menyebar

Mutasi virus corona ini terdeteksi pertama kali pada September. Di bulan November, otoritas kesehatan Inggris menyatakan seperempat kasus COVID-19 di London dipicu oleh penularan virus corona varian baru.

Angka itu meningkat di pertengahan Desember, dengan kasus mencapai hampir dua per tiga. Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson mengatakan virus corona yang bermutasi memiliki kemampuan transmisi antarmanusia hingga 70 persen. Angka itu muncul dalam presentasi Dr Erik Volz darai Imperial College London.

"Ini benar-benar terlalu dini untuk mengatakan. Tapi dari apa yang kita lihat sejauh ini (virus corona varian baru) berkembang sangat cepat. Itu (mutasi terbaru) tumbuh lebih cepat daripada (yang pernah ada. Tetapi penting untuk terus mengawasi kondisi ini," terang Erik.

2. Tingkat kematian dipertanyakan

Meski banyak narasi yang menyebut virus corona varian baru di Inggris lebih berbahaya, sejatinya belum ada bukti ilmiah yang dapat memastikan tingkat kematian virus corona mutasi terbaru itu. Para ahli hingga kini masih memantau dan meneliti.

Yang jelas, sebagaimana dikatakan di poin pertama, mutasi virus corona ini lebih mudah menular. Orang-orang akan terinfeksi lebih cepat.

Hal itu berimplikasi pada keseimbangan sistem perawatan dan kemampuan rumah sakit serta para tenaga medis. Kewalahannya sistem medis, tentu saja akan berbahaya bagi keselamatan setiap pasien COVID-19.

3. Awal temuan dan perkembangan mutasi

Hingga Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus Disease 2019 dirilis, setidaknya virus corona varian baru sudah terdeteksi di tiga negara selain Inggris: Australia, Denmark, hingga Belanda.

Kemunculan awal varian baru virus corona ini masih diselidiki. Sejauh ini ada dua kemungkinan. Virus corona varian baru mungkin muncul pada seorang pasien di Inggris atau bisa juga diimpor dari negara yang memiliki kemampuan lebih rendah untuk memantau proses mutasi virus.

Secara spesifik, varian baru virus corona ditemukan di seluruh dataran Britania Raya, kecuali Irlandia Utara. Namun virus ini sangat terkonsentrasi di London, Inggris Tenggara dan Inggris Timur.

Terkait perkembangan mutasinya, virus corona setidaknya sudah bermutasi menjadi 17 jenis mutasi terbaru. Salah satunya disebut N501Y. Jenis ini juga dikenal dengan "receptor-binding domain". Selain itu ada juga jenis lain, seperti A570D, P681H, T716I, S982A, D1118H, dan D614G.

Situasi London di tengah pandemi (Elton SA/Unsplash)

4. Gejala

Virus corona varian baru memiliki berbagai macam gejala: kelelahan, hilang nafsu makan, sakit kepala, diare, kebingungan, nyeri otot, hingga ruam di kulit. Laporan Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merinci gejala umum COVID-19 varian baru ke dalam persentase:

- Demam (87,9 persen);

- Batuk kering (67,7 persen);

- Kelelahan (38 persen);

- Produksi dahak (33,4 persen);

- Sesak napas (18,6 persen);

- Sakit tenggorokan (13,9 persen);

- Sakit kepala (13,6 persen);

- Hidung tersumbat (4,8 persen).

Selain yang tercantum di atas, gejala lain yang ditunjukkan COVID-19 varian baru adalah anosmia atau hilangnya indera penciuman.

5. Ampuhkah vaksin saat ini?

Sebagian besar peneliti, khususnya di Inggris meyakini rata-rata vaksin yang diedarkan di dunia saat ini mampu melindungi tubuh dari mutasi virus corona. Namun pernyataan itu disampaikan sebagai penjelasan atas bagaimana vaksin-vaksin yang digunakan di Inggris merespons virus corona varian baru.

Meski begitu, laporan itu juga tak merujuk ke merek vaksin apapun. Namun jika melihat pemberitaan, Inggris secara dominan menggunakan vaksin Oxford-AstraZeneca dan Pfizer/BioNTech.

Vaksin-vaksin itu mampu melatih sistem kekebalan serta meningkatkan kemampuan tubuh untuk menyerang beberapa bagian virus yang berbeda. Artinya, meski mutasi menyebabkan perubahan virus, vaksin seharusnya tetap berfungsi. Setidaknya hingga saat ini.

Para pakar tak menutup kemungkinan virus akan terus bermutasi hingga melewati kemampuan vaksin-vaksin yang hari ini diproduksi. Sebuah presentasi yang dilakukan ilmuwan Universitas Glasgow, Profesor David Robertson menyatakan: Virus mungkin dapat menghasilkan mutan yang lolos dari vaksin.

6. Sudah masuk Indonesia?

Kabar soal ini masih simpang siur. Saat Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus Disease 2019 dirilis Desember 2020 lalu, hanya ada tiga negara selain Inggris yang telah mengonfirmasi temuan mutasi virus corona varian baru: Denmark, Australia, serta Belanda.

Di Indonesia, otoritas pemerintahan belum mengonfirmasi adanya mutasi virus corona di Indonesia. Pemberitaan Kompas.com, Minggu, 3 Januari menuliskan pernyataan Satgas Penanganan COVID-19 yang menyebut mereka belum mendapat laporan temuan virus corona varian baru. Namun, upaya mitigasi dilakukan, termasuk menutup pintu bagi warga negara asing (WNA).

Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Namun, pada 29 Desember 2020, para peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) mengumumkan temuan empat mutasi virus corona di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Melalui Pokja Genetik FK-KMK, UGM dan tim berhasil mengidentifikasi Whole Genome Sequencing (WGS) empat isolat dari Yogyakarta dan Jawa Tengah yang ditengarai mengandung mutasi D614G.

Mutasi D614G pada virus SARS-CoV-2 ini mempunyai daya infeksius sepuluh kali lebih tinggi telah tersebar hampir di seluruh pelosok dunia, yaitu 77.5 persen dari total 92.090 isolat mengandung mutasi D614G. Sedangkan di Indonesia sendiri sudah dilaporkan sebanyak 9 dari 24 isolat yang dipublikasikan mengandung mutasi D614G. 

“Sepertiganya terdeteksi di Yogyakarta dan Jawa Tengah," ungkap Ketua Pokja Genetik FK-KMK UGM, dr. Gunadi, Sp.BA., Ph.D dikutip dari laman UGM, Selasa, 29 Desember.

Menurut Gunadi, pihaknya mengambil ribuan sampel isolat dari DIY dan Jawa Tengah, namun demikian ditemukan ada 15 sampel yang diketahui kemungkinan bermutasi tetapi setelah diuji lebih lanjut hanya didapatkan empat isolat yang dianggap bermutasi. 

“Dari empat sampel itu, tiga sampel dari DIY dan satu sampel dari Jawa Tengah,” katanya.

Anggota peneliti lainnya dari tim Laboratorium Diagnostik FK-KMK, dr. Titik Nuryastuti menuturkan didapatkannya empat sampel isolat yang bermutasi ini setelah tim mengumpulkan seluruh sampel yang berasal dari 98 fasilitas kesehatan (faskes) di DIY dan 30 faskes di Jawa Tengah. Menurutnya, sampel dari faskes ini diambil dari berbagai Rumah Sakit, Puskesmas dan Dinas Kesehatan.  

“Sampel di DIY lebih dominan, tercatat 11.250 sampel dan 4.311 sampel dari Jawa Tengah. Secara keseluruhan ada 1.083 yang dinyatakan positif,” ujarnya.