Mengenal Hamas, yang Dicap Teroris oleh Barat dan Ingin Dirikan Negara Islam di Palestina
Perayaan 25 tahun berdirinya Hamas di Jalur Gaza pada 8 Desember 2022. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Di tengah pecahnya perang antara Hamas dan Israel sejak pekan lalu, pemerintah Palestina mengeluarkan pernyataan mengejutkan, menyebut Hamas bukan pemerintah Palestina.

Hal ini dikatakan Duta Besar Palestina untuk Inggris sekaligus penasihat Presiden Mahmoud Abbas, Husam Zomlot. Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Zomlot tampak emosional dan marah kepada seorang jurnalis karena ia ditanya soal apakah mendukung serangan Hamas terhadap Israel.

“Hamas adalah kelompok militan. Anda berbicara dengan perwakilan Palestina dan posisi kami sangat jelas,” cetus Zomlot.

“Ini bukan soal mendukung atau tidak mendukung. Saya di sini mewakili rakyat saya, rakyat Palestina, atas apa yang terjadi. Saya di sini bukan untuk mengutus siapa pun.

“Hamas bukanlah pemerintah Palestina,” Zomlot menegaskan.

Ingin Dirikan Negara Islam di Palestina

Pertanyaan yang ditujukan kepada Zomlot merujuk pada perang Hamas melawan Israel yang pecah sejak Sabtu, 7 Oktober 2023. Hamas secara tiba-tiba melancarkan serangan terhadap Israel melalui darat, laut, dan udara hingga menewaskan 1.300 orang. Tak hanya itu, Hamas juga menyandera ratusan orang.

Tapi mengapa pemerintah Palestina seolah tampak tak memberikan dukungan kepada Hamas?

Di tengah perjuangan mendapatkan kembali tanah mereka, rakyat Palestina juga dihadapkan pada konflik internal di negara sendiri. Konflik internal ini melibatkan Hamas dan pemerintah Palestina.

Pada dasarnya, Hamas dibentuk karena ketidakpuasan sebagian masyarakat Palestina terhadap perjuangan diplomasi organisasi-organisasi perlawanan Palestina yang telah ada, seperti Palestine Liberation Organization (PLO).

Mendiang Presiden Yasser Arafat, pemimpin Fatah yang berhasil menjaga perdamaian dan hubungan Palestina-Israel. (Wikimedia Commons)

Cikal bakal terbentuknya Hamas sudah ada sejak 1970-an. Awalnya, aktivitas Hamas jauh dari kekerasan. Mereka justru mulai membangun jaringan amal, klinik, dan sekolah di wilayah pendudukan Israel setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967. Aktivitas Hamas di Jalur Gaza fokus pada berbagai mesjid, sementara di Tepi Barat fokus pada universitas-universitas.

Namun kemudian muncul kelompok kecil di wilayah pendudukan yang memanggil untuk melakukan jihad atau perang suci terhadap Israel. Menurut sejumlah sumber, Hamas berdiri pada 1987, setelah intifada pertama melawan pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Hamas didirikan di Gaza oleh seorang imam, Sheikh Ahmed Yassin dan ajudannya, Abdul Aziz al-Rantiissi. Hamas merupakan akronim bahasa Arab dari Harakat al-Munqawama al-Islamiya yang bermakna Gerakan Perlawanan Islam. Dalam bahasa Arab, Hamas juga berarti ‘semangat’.

Hamas memiliki tujuan membebaskan Palestina dari pendudukan Israel. Tapi lebih dari itu, Hamas juga ingin mendirikan negara Islam dari Sungai Yordan hingga ke Laut Mediterania.

Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas yang juga menjadi Perdana Menteri Palestina saat ini. (Wikimedia Commons)

Tujuan jangka panjang inilah yang membuat Hamas tidak akur dengan rival politiknya, Fatah. Karena meski sama-sama memiliki tujuan untuk kebebasan dan hak penuh negara Palestina, Hamas dan Fatah punya metode berbeda untuk mencapai tujuan tersebut.

Fatah menganjurkan solusi damai dengan Israel. Para pemimpinnya mendukung solusi two states atau dua negara, dan mengedepankan proses negosiasi. Mereka juga tidak mendukung perjuangan bersenjata.

“Hamas dan Fatah sama-sama mencita-citakan Palestina yang merdeka. Namun Hamas ingin mendirikan Palestina sebagai negara Islam, sementara Fatah sekuler,” kata pengamat Timur Tengah Universitas Gadjah Mada (UGM), Siti Mutiah Setiawati dalam acara DIHI UGM Talks bertajuk Hamas-Israel 2023: Babak Baru Konflik atau Perdamaian di Timur Tengah? secara daring pada Jumat (13/10/2023).

Dicap Organisasi Teroris

Ketegangan antara Fatah dan Hamas meningkat pada 2005 setelah kematian Ketua Organisasi PLO sekaligus Presiden Otoritas Nasional Palestina, YasserArafat pada November 2004.

Sejak 2006, konflik antara Fatah dan Hamas mendominasi suhu politik Palestina. Hamas secara mengejutkan menang dalam pemilihan parlemen Otoritas Palestina untuk Dewan Legislatif Palestina. Kemenangan itu sekaligus menandai berakhirnya era dominasi Fatah.

Sempat terjadi konflik bersenjata antara dua faksi ini yang membuat pemerintahan terpecah. Konflik internal di Palestina terus berlanjut hingga mereka menjadi terpecah secara politik dan teritorial sejak tahun 2007. Pada Juni di tahun itu, pejuang Hamas menguasai Jalur Gaza dan memecat semua pejabat Fatah.

Siswa SD Al Firdaus Solo memegang poster saat shalat ghaib dan doa bersama untuk warga Palestina yang tewas dalam konflik dengan Israel di Solo, Jawa Tengah, Jumat (13/10/2023). (Antara/Maulana Surya/Spt/am)

Hamas mengambil alih jalur Gaza pada Juni 2007 dan menjadi otoritas pemerintahan de facto. Sementara Fatah, yang mengendalikan Badan Otoritas Palestina menguasai Tepi Barat A dan B.

Sejak mengambil alih Jalur Gaza, Hamas beberapa kali terlibat perang dengan Israel, termasuk yang sekarang terjadi. Akibatnya, Hamas dianggap sebagai organisasi teroris oleh sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Israel, Inggris, dan Uni Eropa.

Di sisi lain Otoritas Nasional Palestina, yang mewakili Fatah, diakui di luar negeri sebagai pemerintahan sipil di wilayah Palestina.

Ketegangan yang mendalam antara Hamas dan Fatah terus berlanjut hingga sekarang, di tengah upaya perdamaian Israel dan Palestina.

Menurut Siti Mutiah, akan sulit mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel ketika dua partai penguasan ini masih terus terlibat konflik internal. Apalagi, bangsa Yahudi di Israel juga tidak lepas dari konflik internal yang melibatkan Partai Likud dan Partai Buruh.

“Masalah internal Palestina, antara Hamas dan Fatah, serta bangsa Yahudi menyebabkan konflik Palestina-Israel menjadi sulit dicari jalan perdamaian. Sebaiknya pihak-pihak tersebut menyelesaikan masalah internal sebelum menyelesaikan masalah di tingkat yang lebih tinggi,” pungkas Siti Mutiah.