Belajar dari Krisis Energi Eropa: Upaya Mengatasi Perubahan Iklim yang Terhalangi oleh Perubahan Iklim Itu Sendiri
Ilustrasi (Foto: Dok. Kemenkeu)

Bagikan:

JAKARTA – Tidak bisa dipungkiri bahwa sejumlah negara-negara Eropa kini tengah mengalami situasi yang cukup pelik akibat ketiadaan suplai energi yang memadai. Banyak di antara negara yang terpaksa menaikan harga jual energi tertentu akibat kelangkaan pasokan bahan baku.

Fenomena ini yang coba dijelaskan oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019 Arcandra Tahar.

“Membuka tahun 2022 ini kami mengajak bersama untuk belajar dari banyak peristiwa penting di tahun lalu. Salah satunya adalah krisis energi di Eropa,” ujar dia melalui Instagram pribadi @arcandra.tahar pada Sabtu, 9 Januari.

Menurut Arcandra, salah satu hal penting yang bisa dipelajari adalah bahwa upaya Eropa untuk membangun dan memperkuat energi terbarukan belum berjalan sesuai harapan dan ini diduga sebagai dampak dari climate change alias perubahan iklim.

“Bagaimana mungkin upaya memperbaiki climate change justru terhalangi oleh climate change itu sendiri, seperti apa faktanya?,” sambung dia.

Kata Arcandra, negara-negara di Eropa seperti Inggris, Denmark dan Jerman banyak mengandalkan angin sebagai sumber energi terbarukan mereka selain matahari. Wind turbin digunakan untuk mengubah energi bayu (angin) menjadi energi listrik (PLTB).

“Eropa memilih wind turbin sebagai sumber energi terbarukan bukan tanpa alasan. Selain rata-rata kecepatan angin yang cukup tinggi sepanjang tahun, juga karena ekosistem pengembangan wind energy yang sudah terbentuk sejak lama,” katanya.

Namun apa yang terjadi di Eropa pada 2021 diluar perkiraan banyak orang. Kecepatan angin yang bertiup tidak lagi secepat biasanya. Pada 2020, wind turbin masih mampu menghasilkan energi listrik sebesar 20 persen hingga 26 persen dari kapasitas terpasang.

Situasi berubah drastis saat 2021. Wind turbin hanya mampu menghasilkan energi listrik sebesar 14 persen dari kapasitas terpasang. Dengan kata lain, terjadi penurunan produksi listrik dari wind turbin hingga 40 persen dibandingkan periode 2020.

Arcandra mengungkapkan, sampai hari ini tidak ada yang tahu pasti kenapa kecepatan angin di Eropa turun akhir-akhir ini. Diduga hal ini dipengaruhi oleh climate change.

“Kalau dugaan ini benar, maka kita berada pada lingkaran yang tak berujung. Kenapa? Karena wind energi yang diharapkan menjadi solusi untuk menjaga climate change tersendat karena climate change merusak kecepatan angin yang diharapkan,” tegas dia.

Situasi yang sama, lanjut Arcandra, kemungkinan juga bisa terjadi dengan energi yang bersumber dari matahari. Ketika climate change menciptakan perubahan musim seperti banyaknya terjadi hujan, tentunya akan berdampak terhadap produksi listrik yang terbentuk dari sumber energi berbasis matahari.

“Kalau kita telaah lebih dalam lagi dan merenungkan apa yang terjadi di Eropa dengan krisis energinya, apa mungkin energi terbarukan terlalu maju mengambil alih peran energi fosil dalam masa transisi menuju net-zero emisi? Tentu kita sadar bahwa penggunaan energi terbarukan bukan untuk ditawar-tawar,” tutup dia.