Buka-bukaan Bos Indofarma: Alkes Buatan Dalam Negeri Baru Kuasai 31 Persen Pasar di Indonesia
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Produksi alat kesehatan (alkes) domestik baru menguasai 31 persen dari total pasar di Tanah Air. Kondisi ini membuat investasi alkes di dalam negeri masih menarik ke depannya. Bahkan, nilai pasar atau market value alat kesehatan terus meningkat sejak 2016 hingga saat ini.

Direktur Utama PT Indofarma Tbk Arief Pramuhanto mengatakan nilai pasar alkes di Indonesia 2020 meningkat menjadi Rp84,59 triliun. Sementara di tahun 2016 angkanya hanya mencapai Rp65,9 triliun.

"Jadi kalau dari tahun 2016 sampai 2020 tumbuhnya cukup baik dari Rp65,9 triliun menjadi Rp84,59 triliun," katanya dalam diskusi virtual, Kamis, 15 Juli.

Namun, kata Arief, tren positif tersebut merupakan kontribusi dari tingginya permintaan masyarakat terhadap produk-produk alat kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan pandemi COVID-19.

"Kalau pengalaman di tahun 2020 mulai pandemi tadi bed occupancy rate itu di rumah sakit normal non COVID-19 itu turun sekitar 65-70 persen. Akibatnya demand terhadap obat turun pada saat itu. Cuma kalau produk farma yang terkait dengan COVID-19 naiknya luar biasa," tuturnya.

Sementara itu, kata Arief, di sisi alat kesehatan juga terjadi ketimpangan. Sebab kontribusi produk dalam negeri jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan nilai impor.

"Dari sisi alat kesehatan ada ketimpangan di sini. Di mana impor itu Rp12,5 triliun. Kemudian produk dalam negerinya cuma Rp2,9 triliun. Jadi impor alat kesehatan itu lima kali lebih besar daripada pembelanjaan alat kesehatan dalam negeri," jelasnya.

Berkaca pada kondisi ini, Arief menilai bahwa impor alat kesehatan masih menjadi tantangan agar dapat diturunkan minimum pada level substitusi. Kata dia, langkah ini perlu dilakukan agar Indonesia tidak bergantung pada impor.

"Ini tantangan buat kita bagaimana khususnya alat kesehatan ini, kita paling tidak bisa menjadi minimum substitusi impor dulu deh. Kita tidak usah mikirin terlalu jauh dulu paling tidak produk impor itu bisa kita buat produk yang sama sehingga bisa melakukan substitusi," ucapnya.

Dari 496 jenis alkes yang ditransaksikan dalam katalog pada tahun 2019-2020 sebanyak 152 jenis alat kesehatan sudah mampu diproduksi di dalam negeri. Jumlah tersebut setara dengan 31 persen alat kesehatan dari total yang ada. 

"Sisanya 69 persen itu impor. Ini challenge bagi kita semua. Karena tadi saya sampaikan bagaimana kita melakukan substitusi impor dulu, sehingga kita bisa mengurangi ketergantungan impor khususnya yang di alat kesehatan ini," jelasnya. 

Kurangi impor obat dengan diproduksi produk herbal

Dari sisi farma, kata Arief, sebanyak 1.809 item obat yang tercatat di e-katalog hanya tinggal 56 jenis obat yang belum diproduksi di dalam negeri. Artinya, sebesar 97 persen obat sudah bisa diproduksi di dalam negeri, walaupun 90 persen bahan bakunya masih berasal dari impor.

"Kalau kita lihat obat mana sajayang kira-kira konsumsinya terbesar. Ada 10 besar obat yaitu Clopidogrel, Paracetamol, Cefixime, Amiodipine, Ceftriaxone, Candesartan, Omeprazole, Diciofenac, Bisoprolol, dan Lansoprazole," ujarnya.

Kata Arief, dari 10 besar dari obat dengan konsumsi terbesar tersebut hanya dua saja yang bahan bakunya di produksi di dalam negeri yaitu Clopidogrel dan Paracetamol.

Menurut Arief, salah satu cara untuk menekan ketergantungan terhadap bahan baku obat dari luar negeri adalah dengan cara pengembangan obat herbal. Hal ini berangkat dari fakta bahwa bahan baku herbal di Indonesia sangat berlimpah.

Lebih lanjut, Arief mengatakan jika jumlah industri fitofarmaka diperbanyak tentu pasokan bahan bakunya tak perlu diimpor. Bahkan, lebih aman. Sebab, berasal dari Indonesia atau lebih dikenal dengan sebutan obat modern asli Indonesia (omai).