Berpikiran Positif Tak Selalu Membahagiakan, Hati-hati <i>Toxic Positivity</i>
Ilustrasi wajah tanpa ekspresi (Unsplash/Quinten dee Graaf)

Bagikan:

JAKARTA – Banyak orang membutuhkan motivasi, penyemangat, dan dorongan positif untuk bahagia. Namun ternyata, dorongan positif yang diucapkan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Kadang dilebihkan agar merasa lebih tenang. Tak jarang jadi satu pujian sebagai bentuk penyangkalan.

Pernahkah berucap ‘usaha tidak pernah menghianati hasil’ atau ‘semua akan indah pada waktunya’? Kedua kalimat tersebut merupakan satu bentuk generalisasi, padahal sedang mengalami kenyataan pahit, kegagalan dan patah hati. Kondisi ini disebut dengan toxic positivity.

Mengutip sebuah artikel yang ditulis oleh Samara Quintero, LMFT CHT dan Dr. Jamie Long di The Psychology Group, toxic positivity merupakan ekspresi yang diungkapkan untuk menyembunyikan atau menutupi perasaan yang sebenarnya.

Menurut Quintero sebagai seorang terapis pernikahan dan keluarga berlisensi serta hipnoterapis; dan Long sebagai psikolog klinis berlisensi dan co-owner dari The Psychology Group Fort Lauderdale, toxic positivity umumnya diekspresikan pada saat-saat tertentu.

Kenali tanda-tanda toxic positivity berikut:

  • Menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya atau tidak jujur, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.
  • Pasrah, menerima begitu saja, dan mengubur ekspresi negatif.
  • Mengucapkan kalimat-kalimat positif saat kondisi buruk dengan tujuan harus berpikiran positif.
  • Menolak emosi negatif, misalnya kekecewaan, sakit hati, marah, dan tidak nyaman.
  • Butuh pelarian, contohnya dengan makan lezat, belanja dan aktivitas yang membuat senang.
  • Mempermalukan atau menghukum orang lain untuk mengungkapkan frustasi.
  • Menepis hal-hal yang mengganggu.

Toxic positivity adalah kondisi yang tidak sehat. Pandangan positif yang dipaksakan, terutama tentang rasa sakit artinya mendorong seseorang untuk tetap pasrah.

Menurut Quintero dan Long, sebagian besar dari kita tidak ingin keburukan. Saat mengalami peristiwa buruk, hanya ada dua pilihan.

Pertama, berani dan jujur atau berpura-pura agar terlihat lancar dan berjalan mulus. Banyak orang memilih opsi kedua, padahal berpura-pura dapat melumpuhkan jiwa manusia.

Beberapa studi psikologis menunjukkan bahwa menyembunyikan atau menyangkal perasaan menyebabkan tingkat stres meningkat.

Saran Quintero dan Long, untuk jujur pada diri sendiri perlu mengeluarkan atau mengekspresikan emosi negatif.

Ini membuat tubuh kita lebih waras, sehat dan terbebas dari ketegangan yang disebabkan oleh penindasan kebenaran, ungkap kedua spesialis yang mendalami trauma, anxiety, dan depresi.

Toxic positivity juga memengaruhi hubungan dengan orang lain. Ketika seseorang mengisolasi perasaannya, menyembunyikan emosinya maka akan berjarak dengan orang lain. Saran terbaik dari ahli, untuk menjadi manusia yang sehat perlu kesadaran akan diri sendiri dahulu.

Daripada berpikir semua hal itu memiliki sisi positif tetapi tidak jujur. Lebih baik menjaga emosi tetap seimbang untuk merasa bahagia.