YOGYAKARTA - Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar berbicara tentang mobil listrik. Kali ini, pakar ilmu energi tersebut bertutur soal anomali Toyota dan Honda yang dianggapnya enggan mengembangkan kendaraan listrik secara serius.
Padahal, sepasang entitas usaha asal Jepang tersebut merupakan market leader di industri otomotif. Lalu, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Dalam sebuah unggahan di laman jejaring sosial Instagram, Menteri ESDM 20 hari tersebut melontarkan pemikirannya.
BACA JUGA:
“Ketika perusahaan automaker dunia berlomba-lomba untuk merancang mobil listrik (electric vehicle/EV) yang paling efisien dengan harga terjangkau, industri automaker dan regulator di Jepang seolah tidak berminat untuk ikut dalam kompetisi ini. Sebut saja Toyota dan Honda,” ujar dia melalui @arcandra.tahar awal pekan ini.
Nissan Sudah Duluan Jual Mobil Listrik
Adapun, kompetitor lain yang skala usaha maupun produksinya di bawah dua raksasa otomotif ini malah sudah lebih dulu nyemplung di bisnis bercorak teknologi 4.0 tersebut.
“Nissan, lewat the Leaf, sudah sempat masuk dalam kompetisi sejak sepuluh tahun lalu dan berhasil menjual lebih dari setengah juta unit hingga tahun lalu,” tuturnya.
Akan tetapi penjualan mobil listrik Nissan selama satu dekade tersebut setara dengan penjualan Tesla pada periode 2020 saja!
Sebagai informasi, urusan bisnis bukan menjadi hal paling mendasar yang membuat Toyota dan Honda emoh mengembangkan kendaraan full listrik. Sejatinya kedua produsen ini sudah terlanjur mempelopori teknologi kendaraan bertipe hybrid.
“Menurut mereka, mobil dengan kombinasi gasoline dan electric (hybrid) yang harus didorong dalam masa transisi dari mobil berbahan bakar fosil ke EV,” sebut Arcandra.
Pasalnya, sambung dia, mayoritas perusahaan otomotif di Jepang masih belum percaya jika kendaraan listrik merupakan solusi tepat dalam menanggulangi dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh keberadaan mobil konvensional saat ini.
“Japan automaker mungkin belum percaya bahwa EV merupakan solusi terbaik untuk membantu mengurangi emisi gas buang,” imbuhnya.
Sebagai contoh, EV bukanlah teknologi yang ramah lingkungan kalau sumber energi listrik untuk charging berasal dari bahan bakar fosil. EV hanya memindahkan kontribusi emisi gas buang dari mobil ke pembangkit listrik. Apalagi pembangkit listrik di pabrik mobilnya juga berasal dari bahan bakar fosil. Dengan alasan ini pula Japan automaker mengembangkan engine dengan bahan bakar hidrogen.
Kondisi demikian kemudian bertambah rumit tatkala gelontoran dana besar sudah dikeluarkan untuk mengembangkan teknologi kendaraan hybrid.
“Dengan strategi ini banyak sekali dana yang sudah dikeluarkan untuk mengembangkan mobil hybrid di Jepang dan investasi ini perlu waktu mengembalikannya,” kata Arcandra.
Mengutip dari Wikipedia, kendaraan hybrid adalah sebuah kendaraan yang menggunakan dua atau banyak sumber tenaga untuk menggerakkan kendaraan tersebut. Sebutan ini lebih umum merujuk pada kendaraan listrik hibrida (hybrid electric vehicle/HEV) yang menggabungkan sebuah mesin pembakaran BBM dengan satu atau banyak motor listrik.
“Dengan kompetisi yang ketat ini sepertinya susah untuk mendatangkan profit dengan mudah. Oleh karena itu bertahan dengan teknologi hybrid menjadi pilihan yang harus ditempuh oleh Japan automaker,” tutup dia.
Artikel ini sudah tayang di VOI dengan judul: Alasan Pabrikan Otomotif Jepang Lebih Suka Kembangkan Mobil Hybrid Ketimbang Full Listrik, saatnya merevolusi pemberitaan!