Tren <i>Cryptocurrency</i> dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Iklim
Pengaruh kripto terhadap iklim. (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA – Meningkatnya popularitas cryptocurrency dalam beberapa tahun terakhir telah menarik perhatian masyarakat global untuk menginvestasikan dana mereka ke aset digital berbasis blockchain tersebut.

Saat ini pasar kripto mengalami penurunan, menimbulkan kepanikan di kalangan investor sehingga mereka terpaksa menjual kepemilikan kripto mereka untuk menyelamatkan dana tersisa.

Di sisi lain, cryptocurrency disebut-sebut memiliki dampak besar bagi iklim. Pasalnya, sejumlah mata uang kripto seperti Bitcoin, Ethereum, Dogecoin, dan cryptocurrency lain yang menggunakan algoritma Proof-of-Work (PoW). Model PoW ini memungkinkan aktivitas penambangan (Mining) dengan menggunakan perangkat komputasi tinggi.

Aktivitas tersebut diklaim memiliki pengaruh signifikan pada perubahan iklim. Pada awal 2021, perusahaan mobil listrik Tesla menerima pembayaran Bitcoin. Namun, pada Mei 2021, bos Tesla Elon Musk mengumumkan menangguhkan pembayaran BTC. Dia beralasan bahwa mata uang kripto terbesar berdasarkan kapitalisasi pasarnya itu “merugikan lingkungan.”

“Mata uang kripto adalah ide yang bagus di banyak level, dan kami percaya ia memiliki masa depan yang cerah. Namun, hal ini tidak berarti harus merugikan lingkungan,” kata Elon Musk di akun Twitter-nya, @elonmusk, Jumat, 14 Mei 2021. Namun tidak lama kemudian, Musk kembali mengumumkan menerima pembelian mobil Tesla dengan Bitcoin.

Sebenarnya isu kripto dan perubahan iklim bukan hal yang baru. Para ahli telah melakukan sejumlah penelitian terkait pengaruh cryptocurrency terhadap lingkungan. Menurut laporan yang dimuat di jurnal sains Joule pada 2018, kripto terbesar di dunia Bitcoin dilaporkan telah menghasilkan 22 juta metrik ton ekivalen karbon dioksida per tahunnya.

Kemudian pada tahun 2020, Cambridge University melakukan survei dan menemukan bahwa 75 persen aktivitas penambangan menggunakan energi terbarukan. Sekitar dua pertiga dari energi yang digunakan berasal dari bahan bakar fosil.

Sebagai informasi, penggunaan bahan bakar fosil dapat menghasilkan karbon yang berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim. Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi pemanasan global yang kian meningkat telah dirasakan oleh penduduk Bumi di berbagai negara.  

Menurut laporan dari TheConversation, model Proof-of-Work yang digunakan oleh berbagai mata uang kripto telah menyebabkan dampak buruk di Bumi. Di Inggris sendiri, aktivitas penambangan kripto mengonsumsi 300 terawat (TWh) listrik berbahan bakar fosil per tahunnya. Menurut laporan tersebut, jejak karbon tahunan yang dihasilkan Bitcoin sekitar 114 juta ton. Jumlah ini setara dengan aktivitas 380 ribu peluncuran roket luar angkasa.  

Tidak berhenti sampai di situ, baru-baru ini IMF menyatakan bahwa Bitcoin mengonsumsi energi jutaan kali lebih banyak daripada kartu kredit. Perhitungannya didasarkan pada publikasi akademis dan sektor swasta.

Selain itu, laporan yang dicermati oleh Xavier Lavayssièr, Germán Villegas Bauer, dan Itai Agur, juga menunjukkan bahwa mata uang digital bank sentral (CBDC) dan beberapa mata uang kripto swasta sebenarnya lebih efisien daripada sistem pembayaran tradisional. Oleh karenanya konsumsi listrik menjadi peritmbangan penting bagi uang masa depan.

Beralih ke Model Proof-of-Stake (PoS)

Sejatinya, pengaruh cryptocurrency yang menggunakan algoritma PoW tidak hanya dirasakan oleh para peneliti tapi juga disadari oleh para pelaku industri kripto. Salah satu petinggi Ripple (XRP) Chris Larsen adalah salah satu orang yang mendukung peralihan dari model PoW yang diklaim mengonsumsi energi besar ke model genarasi terbaru yang disebut-sebut ramah lingkungan yakni Proof-of-Stake (PoS).

Model PoS tidak memerlukan perangkat komputasi berdaya tinggi. PoS juga mengganti aktivitas penambangan dengan metode staking di mana pemilik kripto hanya perlu mengunci kepemilikannya di platform staking dalam jangka waktu tertentu. Dengan begitu pemilik akan mendapat imbalan tambahan berupa kripto sejumlah tertentu.

Pada April 2022, Larsen bersama sejumlah aktivis Greenpeace aktif mengampanyekan “Change Code, not Climate”. Kampanye tersebut mendesak para pelaku industri kripto untuk beralih ke model yang ramah lingkungan seperti PoS.

Selain itu, kripto terbesar kedua di dunia setelah Bitcoin, yakni Ethereum, berencana melakukan peralihan dari PoW ke PoS melalui proyek The Merge. Transisi ETH ke model yang lebih ramah lingkungan itu akan mulai dilakukan pada tahun 2022 ini.

Pengumuman tersebut disampaikan oleh pendiri Ethereum Vitalik Buterin dalam acara ETH Shanghai Web 3.0 Developer Summit. Saat itu Buterin membahas peralihan dari algoritma Proof-of-Work (PoW) ke Proof-of-Stake (PoS). Transisi yang sangat ditunggu-tunggu komunitas Ethereum.

Transisi disebut-sebut akan mengatasi sejumlah masalah termasuk biaya transaksi Ethereum yang tinggi, penundaan jaringan, dan lainnya. Dengan beralih ke PoS, nama ETH turut berganti menjadi ETH 2.0. Keputusan tersebut akan berdampak positif bagi komunitas Ethereum, industri kripto, dan lingkungan.