Delik dan Penetapan Batas Pajak yang Pantas untuk Hiburan
Ilustrasi Foto Karya Andry Winarko

Bagikan:

JAKARTA – Pelaku industri hiburan di tanah air mendapat pukulan saat mereka masih berupaya bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19. Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) yang mengatur kenaikan pajak hiburan hingga 75 persen dianggap bisa mematikan ladang bisnis mereka.

Sebenarnya, tarif pajak hiburan yang mencapai 75 persen bukan hal baru dalam peraturan pajak daerah dan restribusi daerah (PDRD) Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tarif untuk pajak hiburan paling tinggi sebesar 10 persen.

Namun, terdapat ketentuan khusus untuk pemungutan pajak dari karaoke, panti pijat, hingga mandi uap/spa. Pasal 45 ayat (2) menyebutkan bahwa khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75 persen. Dalam ketentuan tersebut jelas hanya ditetapkan batas atas tarif, tidak ada batas bawah. Artinya, pemerintah daerah (Pemda) dapat menetapkan tarif bahkan hingga 0 persen.

Hiburan yang dimaksud dalam UU No. 28/2009 terbagi menjadi 10 jenis. Pertama, tontonan film. Kedua, pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana. Ketiga, kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya. Keempat, pameran. Kelima, diskotek, karaoke, kelab malam, dan sejenisnya. Keenam, sirkus, akrobat, dan sulap. Ketujuh, permainan biliar, golf, dan bowling. Kedelapan, pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan. Kesembilan, panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center). Terakhir, pertandingan olahraga.

Sementara dalam aturan terbaru, yakni UU No. 1/2022 tentang HKPD, pajak hiburan tersebut kini menjadi objek dari Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Objek PBJT terdiri dari makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, serta jasa kesenian dan hiburan. Di mana jasa kesenian dan hiburan terbagi menjadi 12 kategori.

Kategori jasa kesenian dan hiburan yang diatur dalam UU HKPD adalah tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di lokasi tertentu, pergelaran kesenian, music, tari, dan/atau busana, kontes kecantikan, kontes binaraga, pameran, pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap, pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor, permainan ketangkasan, olahraga permainan dengan menggunakan tempat, ruang, dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran, rekreasi wahana air, wahan ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang, panti pijat dan pijat refleksi, terakhir diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Dalam media briefing yang digelar pekan lalu, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan, Lydia Kurniawati Christyana mengungkapkan bahwa faktanya, mayoritas pajak hiburan secara umum justru turun menjadi paling tinggi sebesar 10 persen.

“Yang semula dalam UU No. 28/2009 maksimal 35 persen, dengan UU HKPD ini turun ke 10 persen,” ujarnya.

Bila merujuk pernyataan Lydia, memang ada penurunan pajak hiburan dalam UU No 1/2022 tentang HKPD. Tapi, ada perbedaan terkait pajak PBJT, dimana dalam UU 28/2009 tidak ditetapkan batas minimal, sementara dalam UU 1/2022 sudah mengatur batas minimal.

Berikut perbandingan tarif kedua UU tersebut.

1. Pasal 45 UU No. 28/2009

a. Tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35 persen

b. Khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotek, karaoke, kelab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa paling tinggi 75 persen

2. Pasal 58 UU 1/2022

a. Tarif PBJT (Pajak Barang dan Jasa Tertentu) ditetapkan paling tinggi 10 persen

b. Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen

Adanya penetapan batas minimal sebesar 40 persen inilah yang sebenarnya menimbulkan pro dan kontra. Sebab, bila sebelumnya rata-rata pajak PBJT berkisar antara 35 hingga 40 persen, maka dengan UU HKPD pemerintah daerah bisa menarik hingga batas maksimal, 75 persen.

Pentingnya Pajak dalam Pemulihan Ekonomi

Anggota Komisi XI DPR, Putri Anetta Komarudin mengungkapkan asal muasal adanya ketentuan minimum untuk pajak hiburan khusus 40 persen dalam UU HKPD. Dia menceritakan, dalam draf RUU HKPD usulan pemerintah yang masuk ke Komisi XI, sebetulnya pemerintah mengajukan ketentuan penurunan tarif maksimal untuk hiburan khusus itu dari yang semula diatur dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) maksimal 75 persen menjadi 40 persen, tanpa mengubah batasan minimum 0 persen.

“UU HKPD ini merupakan usul inisiatif pemerintah, maka dari draf RUU yang kami terima sebelumnya juga pemerintah sebenarnya mengusulkan diturunkan batas atasnya dari 75 menjadi 40 persen,” ujarnya.

Dalam pembahasan, fraksi-fraksi di Komisi XI menginginkan batas maksimal tetap sebesar 75 persen. Saat itu, lanjut Putri, juga belum ada usulan adanya batas minimum 40 persen, sehingga tidak ada usulan perubahan ketentuan.

“Di situ kita mengusulkan tetap ada batas maksimum 75 persen, tapi tidak ada batas minimumnya jadi bisa 0 persen,” sambungnya.

Menurut politisi dari Fraksi Partai Golkar ini, usulan itu merupakan hasil RDP Komis XI dengan akademisi dan pakar dari berbagai universitas selama tujuh hari. Mereka menilai batas maksimal itu telah sesuai dengan kondisi sosial dan kultur beberapa daerah religius yang telah menerapkan tarif 75 persen, bukan 40 persen sebagaimana usulan pemerintah.

ilustrasi karya tim grafis VOI
ilustrasi foto Unsplash

Persepsi itu menguat ketika Komisi XI menggelar RDP dengan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Ketika itu, KPPOD menekankan pentingnya penetapan tarif berdasarkan kondisi sosial dan kultur religius masing-masing daerah.

“KPPOD yang kami undang di situ menyebut PBJT untuk hiburan ini berpotensi menimbulkan kontroversi bagi daerah yang mengedepankan nilai religius, jadi perubahan tarif pajak untuk hiburan ini semestinya memastikan kondisi sosio religius dari daerahnya masing-masing,” terang Putri.

Meski demikian, dia tidak menjelaskan lebih rinci besaran tarif minimum sebesar 40 persen itu muncul dari mana. Putri hanya menyebut tarif minimum 40 persen yang semula tak ada di UU PDRD itu muncul selama pembahasan UU HKPD karena adanya masukan dari para pihak yang menjadi narasumber RDP dan fraksi-fraksi di Komisi XI.

Dia menyatakan, tarif minimum itu sebenarnya juga sudah dikompensasi dengan adanya Pasal 101 UU HKPD yang mendorong daerah memberikan insentif fiskal, supaya daerah yang memandang iklim usaha yang terdampak penetapan tarif itu belum kondusif bisa menerapkan tarif pajak di bawah rentang ketentuan UU HKPD.

“Makanya akhirnya ada yang ingin menetapkan supaya ada batas bawah 40 persen tersebut, tapi karena kita berasal dari berbagai fraksi makanya Pasal 101 itu bisa kita gunakan sekarang sebagai solusi paling cepat supaya UU ini tidak malah mengganggu proses pemulihan ekonomi di daerah,” tukas Putri.

Pengamat ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi menilai sebenarnya alasan pemerintah menaikkan pajak hiburan cukup logis. Tapi, keputusan itu harus diambil di waktu yang tepat pula, dan saat ini dianggap bukan waktu yang pas.

“Saat pandemi, sektor hiburan itu pengunjungnya anjlok. Ibaratnya mati suri. Begitu bangun usai pandemi langsung digebukin dengan pajak tinggi. Ini bukan momentum yang tepat. Pemerintah juga perlu menghitung kemampuan pengusaha di masa recovery ekonomi saat ini maupun peningkatan ekonomi secara umum,” kata dia.

Pengamat perpajakan Universitas Pelita Harapan, Ronny mengakui pengenaan pajak hiburan itu terlalu besar, dan hitungannya juga tidak tepat karena dihitung dari angka sebelum dikurangi biaya-biaya lainnya. Seharusnya angka itu dari pendapatan setelah dikurangi biaya-biaya seperti listrik, gaji pegawai.

Ronny menyarankan pelaksanaan pajak oleh pemerintah daerah itu jangan ditunda, tetapi besaran pajaknya disesuaikan dengan mengikuti tahun sebelumnya. Sebab jika ditunda pemerintah daerah yang akan kehilangan pendapatan. Menurutnya Jalan hukum yang terbaik, adalah pemerintah mengeluarkan Perpu.

"Padahal pendapatan dari pajak hiburan itu menyumbang sepertiga pendapatan asli daerah (PAD)."katanya saat dihubungi VOI.