Atas Nama Perluasan Lapangan Kerja di Tengah PHK Masal

02 April 2025, 10:09 | Tim Redaksi
Atas Nama Perluasan Lapangan Kerja di Tengah PHK Masal
Foto Karya Luthfiah VOI

Bagikan:

JAKARTA - Setelah hampir satu decade, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan penundaan (moratorium) pengiriman tenaga Kerja Migran ke Arab Saudi, diawal tahun pemerintah Rabowo mencabut kebijakan moratorium itu.

Sebelumnya kebijakan itu dilandasi banyaknya kasus-kasus pekerja migran asal Indonesia di Arab Saudi bermasalah yang terus meningkat. Setidaknya dalam catatan KBRI Riyadh terdapat peningkatan kasus PMI di Arab Saudi, dari 1.382 kasus pada 2021 menjadi 1.746 kasus pada 2022, dan terakhir 2.090 kasus pada 2023.

Latar Belakang Pemberlakuan Moratorium pengiriman PMI ke sejumlah negara, terutama di Timur Tengah, pertama kali diberlakukan pada 2011-2015 dan diperpanjang hingga bertahun-tahun berikutnya. Beberapa alasan utama pemberlakuan kebijakan ini tingginya kasus buruh migran Indonesia bermasalah, terutama ke Timur Tengah sempat menjadi perhatian. Hingga pemerintah dan DPR akhirnya memutuskan untuk melakukan moratorium pada tahun 2015 lalu.

Banyak kasus buruh migran Indonesia yang dicatat kantor KBRI Riyadh antara lain, masalah ketenagakerjaan dan kemigrigrasian, juga kasus penyiksaan dan kekerasan, seperti dialami Darmawati yang mendapat penyiksaan oleh majikan.

Banyaknya Kasus Kekerasan terhadap PMI dan Ribuan TKI, khususnya pekerja rumah tangga, melaporkan pelecehan fisik, seksual, dan psikologis oleh majikan. Sistem Kafalah yang Eksploitatif – Di beberapa negara, sistem sponsor (kafalah) membuat PMI rentan diperbudak karena paspor mereka disita dan mobilitas dibatasi. Upah Tidak Dibayar & Perjanjian yang Tidak Jelas – Banyak PMI yang pulang tanpa menerima gaji selama bertahun-tahun bekerja.

Selain itu ada kasus pekerja migran yang mengalami penyiksaan dan kekerasan, seperti dilami kasus Darmawati yang disiksa oleh anak majikannya. Juga kasus gaji tak dibayar yang selama 22 tahun bekerja yang dialami Susi. Juga kasus keimigrasian atau overstay dan bekerja secara ilegal atau masuk tidak secara legal. Juga kasus kasus perdagangan orang (TPPO) atau masuk secara ilegal.

Disusul kasus pelecehan seksual dan kekerasan, seperti dialami Tuti Tursilawaty majikan yang mengakui pembunuhan ayah majikannya karena sering mendapatkan pelecehan seksual dan kekerasan. Banyaknya kasus kasus buruh migran mendorong pemerintah kemudian melakukan moratorium pengiriman BMI karena menilai kurangnya komitmen pemerintah setempat untuk memberikan perlindungan terhadap buruh migran Indonesia.

Minimnya perlindungan hukum dan proses hukum di negara tujuan seringkali tidak berpihak pada PMI, sehingga pemerintah Indonesia merasa perlu melindungi warganya dengan menghentikan pengiriman sementara.

Namun selama masa moratorium yang menginjak satu decade terjadi kebocoran karena pengiriman tenaga migran yang berlangsung secara ilegal, melalui visa wisata dan umrak sebagainya masih berlangsung secara diam diam. Sehingga juga tak terpantau karena kebutuhan pekerja migran tetap tinggi ke Arab Saudi.

Aksi terkait pekerja migran ke arab saudi (IST)
Aksi terkait pekerja migran ke arab saudi (IST)

Karena pertimbangan itu pemerintah memutuskan mencabut kebijakan moratorium itu dan membuka Kembali pengiriman tenaga migran ke Arab Saudi. Menurut Menteri Perlindungan Pekerja Migran, Abdul Kadir Karding mengatakan rencana untuk membatalkan moratorium pengiriman BMI, karena pihaknya telah memperoleh kepastian dari pemerintah baru Arab Saudi yang saat ini dipimpin Pangeran Sheikh Mohammed bin Zayed, putra mahkota UEA (Uni Emirat Arab).

"Keputusan ini diambil setelah adanya jaminan perlindungan bagi para Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan gaji yang lebih baik dari Kerajaan Arab Saudi yakni sekitar 1500 riyal atau setara 6,5 juta," Katanya kepada wartawan setelah bertemu Prabowo, di Istana Negara, Jumat, 15 Maret 2025.

Belum Cukup Kuat Perlindungan Hukum

Namun sejumlah pihak melihat dibukanya pengiriman Tenaga Kerja ke Arab Saudi, selain karena permintaan buruh asal Indonesia, juga karena kondisi menurunnya peluang kerja akhir-akhir ini di dalam negeri menyusul banyaknya PHK massal terjadi. Menurut Karding dari Informasi pemerintahan Arab Saudi dibutuhkan 6.000 tenaga kerja, 4.000 diantaranya tenaga domestik yang tak menyaratkan keahlian khusus.

Namun persoalan kita menyusun UU Nomor 39 Tahun 2004 yang direncanakan untuk mengganti UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pekerja Migran, tak kunjung kelar. Karena hingga saat ini DPR tak kunjung menyelesaikan UU Perlindungan Pekerja Migran. Rencana RUU Undang- undang yang akan rencanakan paripurnakan beberapa kali urung diparipurnakan tanpa tanpa alasan yang jelas. Padahal pemerintah merencanakan akan memberangkatkan tenaga Buruh Migran pada akhir Juni mendatang setelah membatalkan moratorium itu.

Soal dibukanya kembali pengiriman buruh Migran keluar Negeri Anggota DPR dari fraksi PDIP, Edi Wuryanto, mengatakan jangan focus pada penempatan yang penting menurutnya adalah perlindungannya.Ia melihat Sebagian besar pekerja yang di Arab Saudi bekerja di sektor informal dan tenaga yang dikirim adalah tenaga unskill yang seringkali, menimbulkan persoalan. "Dulu sempat dimoratorium karena negara tak mampu lagi menangani persoalan yang begitu banyak di Arab Saudi." ujarnya kepada wartawan di DPR dua pekan lalu.

Sementara menurut Saleh Partaonan Daulay dari Komisi IX DPR RI, pembukaan Kembali tenaga Migran sebaiknya diatur kembali pengiriman tenaga Migran ke sana melalui jalur yang formal, jalur formal hingga perlindungannya juga maksimal. Selama ini ada moratorium berangkat ke Timur Tengah ternyata tetap saja meski ada moratorium tetap saja ada pengiriman tenaga migran ke Timur Tengah tetapi jalur tidak formal, bisa melalui perkenalan atau melalui orang yang sudah karena disana.

Sehingga pemerintah tak bisa menjangkau dengan baik untuk perlindungan. Maka saya merasa gembira jika penempatan itu dibuka Kembali sehingga bisa dimonitor perlindungan kepada Migran karena ada one channel penempatanya melalui satu jalur saja. Sehingga dipantau diamati sejumlah pihak. Ini sudah sesuai UU 18 Tahun 2017 yang ingin kita capai.