YOGYAKARTA - Perekonomian Indonesia yang tahun ini sudah kembali ke jalur pemulihan, masih menghadapi risiko global yang salah satunya dari laju inflasi di Amerika Serikat yang terus naik seperti yang diingatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebulan lalu.
Kenaikan inflasi dikhawatirkan mendorong bank sentral AS, Federal Reserve, mengetatkan sistem moneter negeri itu yang akhirnya bisa berpengaruh secara global, termasuk Indonesia.
BACA JUGA:
Kenapa demikian? Jawaban soal ini bisa diawali dari melihat posisi sistem keuangan AS dan Federal Reserve dalam peta ekonomi dunia.
Dampak Inflasi Tinggi Di Amerika Serikat
Globalisasi membuat arus modal lintas batas menjadi jauh lebih sibuk karena dunia sudah demikian terintegrasi secara finansial. Di satu sisi, perubahan ini membuat sistem keuangan AS menjadi produsen utama aset aman untuk perekonomian global, sementara Federal Reserve menjadi adidaya moneter yang menentukan kondisi moneter global.
Semua itu terjadi karena sistem keuangan AS sudah menjadi intermediasi keuangan global. Sistem keuangan AS yang cenderung meminjam dari negara lain untuk jangka pendek dalam suku bunga yang rendah dan saat bersamaan berinvestasi dalam jangka panjang dalam aset-aset asing berisiko tetapi menghasilkan yield lebih tinggi, telah menyediakan aset yang aman dan likuid untuk dunia.
Dengan posisi semacam itu dan saat bersamaan ketika dunia sudah menjadi satu tubuh sehingga satu sakit akan dirasakan oleh yang lain, maka manakala perekonomian AS, yang menghimpun produk domestik bruto terbesar di dunia, yakni 22,68 triliun dolar AS atau satu setengah kali China yang ber-PDB 16,64 triliun dolar AS, batuk rejang karena inflasi yang ujungnya mendorong kenaikan suku bunga, maka batuk itu bisa menulari ekonomi lain.
Sebulan setelah wanti-wanti Sri Mulyani, tingkat inflasi AS tak kunjung berhenti bahkan meroket 6,8 persen dibandingkan tahun lalu atau kenaikan tahunan tertinggi sejak 1982
yang dikutip VOI dari ANTARA.
Menurut badan statistik Amerika Serikat (BLS), inflasi naik 0,8 persen sepanjang November lalu setelah naik 0,9 persen pada Oktober.
Kenaikan harga terjadi pada hampir semua sektor. Sebagai contoh, mengutip Associated Press, inflasi yang terus membumbung ini membuat harga daging babi naik 21 persen selama setahun terakhir, harga telur naik 8 persen, bensin melonjak 58 persen, bahkan harga mobil bekas pun naik 31 persen.
Kecenderungan ini mendorong Federal Reserve menempuh langkah cepat, dengan mengurangi pembelian obligasi per bulan dari 120 miliar dolar AS menjadi 15 miliar dolar AS, sejak musim panas lalu. Tujuannya adalah menahan kenaikan suku bunga guna memacu tingkat pinjaman dan belanja yang penting dalam menghidupkan roda perekonomian setelah dilumpuhkan oleh pandemi COVID-19.
Tetapi ternyata inflasi berlangsung lebih lama dari perkiraan sehingga bank sentral AS ini bisa saja tergoda menaikkan suku bunga yang sejak Maret 2020 sudah nyaris nol, paling cepat awal tahun depan. Ini artinya jauh lebih cepat dari rencana semua akhir 2023.
Mengapa AS digerogoti inflasi? Sebenarnya bukan AS saja yang mengalaminya karena tren ini juga terjadi global, mulai China dan Eropa sampai negara berkembang.
Namun bagaimana AS diterjang inflasi bisa menjadi pelajaran bagi kawasan lain agar mengenai pangkal masalah yang menyeret negara ke dalam inflasi sehingga bisa waspada dan bersiap menghadapi eskalasi dampak inflasi AS yang sudah terasa luas di pasar modal global itu.
Ini semua berawal dari pandemi COVID-19. Pandemi membuat perekonomian AS ambruk awal triwulan kedua 2020 setelah lockdown membuat aktivitas bisnis terhenti dan memaksa puluhan juta orang dirumahkan. Output ekonomi AS pun terpangkas 31 persen pada triwulan kedua 2020.
Kacaukan rantai pasokan
Semua orang menderita, juga perusahaan-perusahaan yang terpaksa menghentikan atau menunda investasi. Resesi hebat pun menimpa Negeri Paman Sam yang sebenarnya juga melanda banyak negara di dunia ini.
Sempat diperkirakan bakal lama sehingga sektor korporat sudah dibiasakan menghadapi malaise panjang, perekonomian AS ternyata pulih lebih cepat berkat belanja masif pemerintah AS yang dibarengi serangkaian langkah pengenduran moneter yang ditempuh Federal Reserve.
Pemulihan itu makin cepat lagi setelah vaksin COVID-19 disuntikkan luas kepada masyarakat. Seketika itu pula sektor bisnis bergairah lagi. Restoran-restoran, toko-toko, dan sejenisnya membuka lagi usahanya.
Pembalikan cepat ini membuat arus permintaan melonjak, malah terlalu cepat terjadi ketika sistem ekonomi nasional sudah terlanjur bersiap menghadapi resesi panjang.
Lonjakan permintaan barang ini membuat pelabuhan-pelabuhan tak bisa menampung barang yang mendadak membesar. Rantai pasokan global pun menjadi kacau.
Ongkos jasa dan pengiriman pun meroket yang membuat perusahaan-perusahaan terpaksa membebankan harga lebih tinggi untuk barang yang sebenarnya sudah mahal bagi konsumen yang selama pandemi terpaksa berhemat karena aliran pendapatan tersendat atau bahkan terhenti.
Keadaan rumit ini praktis membuat harga-harga melambung sehingga inflasi tak terhindarkan. Dan ini sudah terjadi berbulan-bulan sejak ekonomi mulai menggeliat kembali.
Karena inflasi terus terjadi, The Fed bisa saja terpaksa menaikkan suku bunga pinjaman. Dan ini dipastikan diikuti bank sentral-bank sentral seluruh dunia karena posisi The Fed yang sudah menjadi "bank-nya bank sentral lain" di seluruh dunia.
Dan suku bunga yang tinggi jelas menyulitkan siapa pun karena membuat gairah usaha terhambat dan kegiatan ekonomi tidak se-ekspansif seperti diinginkan, justru ketika dunia usaha sudah ingin berlari cepat setelah dibuat lumpuh oleh pandemi.
Inflasi juga menjadi sentimen buruk di bursa saham, termasuk Wall Street yang merupakan benchmark dunia karena fluktuasi harga saham Wall Street mempengaruhi perekonomian global mengingat bursa ini telah menjadi hub perdagangan pasar keuangan global.
Yang pasti, Wall Street mempengaruhi langsung perekonomian AS, terutama sebagai patokan untuk tingkat kepercayaan konsumen dan referensi dalam mengambil keputusan investasi.
Contohnya ketika pasar modal bullish (tren harga saham naik) karena ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan, misalnya akibat inflasi yang rendah, maka kepercayaan kepada proyeksi ekonomi pun membesar. Dalam situasi ini konsumen akan cenderung berbelanja dan ini artinya perekonomian menjadi bergairah. Logika serupa terjadi pada sistem ekonomi lain di luar AS.
Sedangkan bagi perusahaan dan sektor bisnis, kondisi bullish membuat mereka memanfaatkan kenaikan harga saham untuk ekspansi modal dengan mengakuisisi aset perusahaan lain. Langkah ini bisa mempertinggi output ekonomi dan membuka lapangan kerja yang adalah sinyal baik bagi keseluruhan sistem ekonomi. Hal sebaliknya terjadi manakala pasar modal bearish (tren harga saham turun).
Dari gambaran ini, konteks pengaruh kenaikan inflasi AS terhadap sistem moneter global mungkin bisa dipahami. Bukan soal independen atau tidaknya sebuah perekonomian, tapi fakta sistem keuangan global sudah sangat terintegrasi sehingga manakala satu sakit bisa menulari yang lain, apalagi jika jantung sistem yang sangat terintegrasi itu yang sakit.