YOGYAKARTA - Program pembinaan usaha mikro kecil dan menengah di bidang manufaktur, bengkel, kerajinan dari Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) Yogyakarta, bagian dari Corporate Social Responsibility PT Astra International Tbk sejak 2012 hingga 2022 telah memandirikan 28 UMKM di Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Yang sudah dibina sejak 2012 sebanyak 425 UMKM, terdiri atas bengkel roda empat, manufaktur, kerajinan dan kuliner. Dari jumlah itu yang sudah mandiri 28 UMKM," kata Koordinator YDBA Yogyakarta Fransisca Wisni Kristanti di sela kunjungan ke UMKM binaannya di Kabupaten Bantul, Rabu.
Menurut dia, 28 UMKM yang sudah mandiri itu terdiri atas UMKM sektor manufaktur tiga pelaku usaha, sektor kerajinan termasuk kuliner 14 pelaku usaha, dan bengkel 11 usaha seperti yang dikutip VOI dari ANTARA.
Program Pembinaan Yayasan Astra
Salah satu UMKM Yogyakarta binaannya yang sudah mandiri adalah CV. Dewi Makmur milik Herdiana Dewi Utari yang usahanya bergerak bidang kuliner diantaranya memproduksi teh daun kelor celup, wedang uwuh celup, jahe jeruk nipis di wilayah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Bu Dian (Herdiana) ini kami dampingi mulai dari 5R (rapi, ringkas, resik, rawat, rajin), kemudian pelatihan, meliputi pelatihan pembukuan, pelatihan manajemen keuangan, pelatihan akuisisi kemudian pelatihan HRD, dan pelatihan desain packaging," katanya.
Dia mengatakan, UMKM dapat dikatakan mandiri apabila telah memenuhi syarat atau mendapat nilai di atas 75 berdasarkan penilaian YDBA dari lima pilar. Dan untuk menjadi mandiri, UMKM harus mengikuti beberapa pelatihan dan penilaian dari lembaganya.
"Sebelumnya kami asesmen, ada lima pilar dan Bu Dian ini masuk dalam semua pilar, nilai sudah di atas angka 75. Jadi untuk bisa menjadi UKM mandiri kita asesmen dulu, mulai dari segi pemasaran, keuangan, HRD, segi perijinan, quality control, dan Bu Dian sudah memenuhi syarat semua," katanya.
Pihaknya mendorong UMKM lain bisa terus menjaga kontinuitas dalam produksi, termasuk menerapkan standar operasional prosedur (SOP) dalam produksi, juga memiliki perizinan agar produk dapat diterima pasar atau konsumen pada segmen yang lebih luas.
"Di kerajinan dan kuliner rata rata karena di izin, namun Bu Dian sudah punya semua baik PIRT (pangan industri rumah tangga) dan izin BBPOM (Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan), dengan izin itu akan mengembangkan pasar, karena kalau tidak ada izinnya beredar gimana," katanya.
Dia juga mengatakan, produk kerajinan terutama kuliner yang belum ada izin mereka tidak bisa menjual bebas, dan biasanya ada tulisan untuk kalangan sendiri, sehingga akhirnya cuma jual di pasar tradisional, ke tengkulak yang kemudian diberi merek sendiri.
BACA JUGA:
Sementara itu, pemilik CV. Dewi Makmur, Herdiana Dewi Utari mengatakan, dalam sehari dengan sebanyak 12 karyawan, industrinya mampu mengolah bahan baku sekitar 15 kilogram, apabila satu kantong minuman celup dengan berat dua gram, maka dapat membuat 7.500 kantong celup.
Dia mengatakan, berbagai produk minuman tradisional sebagai herbal tersebut kini telah dipasarkan ke berbagai kota besar di Indonesia, di antaranya Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), Bandung, Yogyakarta, dan Jawa Tengah, baik langsung maupun tidak langsung.
"Kalau sekarang ini yang paling diminati teh jahe sama wedang uwuh dan teh sere, Alhamdulillah penjualan diuntungkan selama pandemi COVID-19, karena minuman ini bisa sebagai obat herbal," katanya.
Dia mengatakan, untuk saat ini pemasaran produk lebih fokus pada online atau dalam jaringan, karena dapat menjangkau pasar luas, selain itu, juga masih masa pandemi, namun diharapkan nantinya pemasaran dapat dilakukan baik secara online maupun offline.
"Setelah saya mendapat pendampingan dan pelatihan dari YDBA, penjualan bisa lebih meningkat, dibanding sebelum ikut pelatihan. Apalagi sudah ada izin, dengan adanya izin orang lebih percaya standar jelas, legalitas pasti, apalagi obat tradisional dan wedang uwuh," katanya.
Saatnya merevolusi pemberitaan di Jogja.Voi.id!