YOGYAKARTA - Pendidikan inklusif harus dilaksanakan dengan semaksimal mungkin, sebagai upaya untuk memberikan akses ilmu pengetahuan dan pekerjaan, sehingga kita dapat membangun tatanan masyarakat yang inklusif (inclusive society) dan demokratis. Prasyarat utama masyarakat yang demokratis adalah yang memiliki prinsip hurriyyah (kemerdekaan) dan musawah (kesetaraan) dalam hal pendidikan.
Melalui pendidikan inklusif diharapkan masyarakat menjadi semakin baik, saling menghormati dan menghargai harkat dan martabat sesama, dan utamanya memberikan aksesibilitas yang lebih bagi mereka yang berkebutuhan khusus.
BACA JUGA:
Pernyataan tersebut disampaikan oleh anggota MPR RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. dalam kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dengan tema Merajut Nilai-Nilai Kebhinekaan Melalui Pendidikan Inklusif, bertempat di Gedung KH. Abdullah Masduki, Universitas Alma Ata Yogyakarta.
“Terbentuknya tatanan masyarakat yang inklusif pada gilirannya akan mendorong seluruh warga masyarakat memiliki kesempatan yang sama, tidak hanya dalam hal pendidikan, tetapi juga kesempatan berikutnya, yaitu dalam dunia kerja,” papar pria yang juga anggota Komite I DPD RI tersebut pada Jumat (29/07) siang.
Landasan hukum penerapan pendidikan inklusif ini, kata pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut, terdapat pada UUD NRI 1945 Pasal 31 Ayat 1 dan UU No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
“Dengan landasan hukum itu, maka tidak boleh ada satu pun dari warga negara yang tidak
mendapatkan akses pendidikan. Data BPS hari ini menyatakan, ada sekitar 10 juta orang
penyandang disabilitas di Indonesia, dan ini merupakan tanggung jawab bersama. Jika hari
ini kita tidak memberikan solusi melalui pendidikan, maka ke depan kita harus mau mengurusi mereka dan negara akan terbebani untuk pemberdayaan. Oleh sebab itu, pendidikan inklusif dapat menjadi jalan keluarnya,” tegas Gus Hilmy.
Meski terdapat landasan hukum negara dan ajaran agama juga mengajarkan, Gus Hilmy
berpendapat bahwa hal itu tidak serta-merta membuat masyarakat secara sadar dan adil
dalam memperlakukan penyandang disabilitas. Gus Hilmy mencontohkan adanya fasilitas
publik yang belum peka terhadap akses disabilitas seperti masjid.
“Di luar itu, kita juga harus memberikan kesadaran kognitif kepada masyarakat tentang
keberadaan penyandang disabilitas agar memberikan perlakuan yang sama. Masjid kita
sebagai fasilitas umum, belum memberikan akses yang baik untuk penyandang disabilitas.
Padahal kalau Jumatan, mereka ini dihitung sebagai jama’ah. Maka takmir masjid perlu
memberikan fasilitas yang adil terhadap sesama jama’ah” kata pria yang juga salah satu
pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut.
Hadir dalam kesempatan tersebut adalah Rektor Universitas Alma Ata Prof. dr. Hamam
Hadi, MS., Sc.D., Sp.GK., serta dua dosen dari kampus tersebut, Dr. H. Akhsanul Fuadi, M.Pd. dan Dr. Muh. Mustakim, M.Pd.I.
Universitas Alma Ata, menurut Prof. Hamam, telah menerapkan pendidikan inklusif. Tidak
hanya dalam hal pengakuan dan penerimaan, tetapi juga fasilitasnya. Dari mulai mars
Universitas Alma Ata hingga gedungnya, menyiratkan sikap inklusif tersebut.
“Selain pengakuan dan penerimaan atas penyandang disabilitas, kami juga telah
menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas. Meskipun gedung kami berlantai
sembilan, namun sangat mudah diakses bagi mereka,” ujar ahli gizi dari Universitas Gadjah
mada tersebut.
Lebih lanjut, Prof. Hamam menjelaskan bahwa dalam pembelajaran di Alma Ata, selain
menanamkan nilai-nilai akademik, juga menekankan pentingnya nilai-nilai keagamaan,
kemanusiaan, dan kebangsaan.
“Implikasinya kemudian adalah Universitas Alma Ata telah menerima mahasiswa dari
berbagai provinsi di seluruh Indonesia. Hanya satu provinsi yang belum pernah kuliah di sini. Selain itu, juga menerima mahasiswa dengan berbagai keyakinan. Tidak hanya muslim, yang nonmuslim pun tidak sedikit,” kata guru besar UGM tersebut.
Hal ini dikuatkan pula oleh Dr. Fuadi, yang menyampaikan materi terkait Pelajar Pancasila.
Menurut Wakil Rektor (Warek) III Alma Ata tersebut, ada enam prinsip yang harus dipegang
oleh Pelajar Pancasila, yaitu beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia; mandiri; berpikir kritis, berkebhinekaan global, bergotong royong, dan kreatif.
“Enam prinsip itu harus tertanam pada diri pelajar atau mahasiswa sebagai pengamalan
Pancasila dalam kehidupan akademiknya di kampus,” kata dosen Pendidikan Agama Islam
(PAI) tersebut.
Sementara itu, Dr. Mustakim menyatakan bahwa Empat Pilar yang terdiri dari Pancasila,
UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, merupakan harga mati sebagai bagian
bangsa Indonesia.
Selanjutnya, terkait pendidikan inklusif, Warek I Alma Ata tersebut mensyaratkan adanya
nilai dan prinsip pendidikan inklusif.
“Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam pendidikan inklusif adalah rekognisi, inovasi,
fleksibel, adaptif, dan kerja sama,” kata pria yang juga dosen PAI tersebut.