YOGYAKARTA - Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada Yayi Suryo Prabandari mengatakan diperlukan komitmen bersama, tidak hanya di tingkat individu, tetapi juga dukungan keluarga, lingkungan, serta layanan kesehatan untuk berhenti merokok.
"Berhenti merokok memang sebuah proses. Dari kajian literatur yang ada, sebagian itu efektif di waktu enam bulan awal, setelahnya perlu ada penguatan dan pendampingan kembali," kata Yayi dalam webinar peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2021 yang digelar oleh Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan FKKMK UGM secara daring dikutip VOI dari ANTARA, Senin.
BACA JUGA:
Akademisi UGM
Berhenti merokok, kata dia, memerlukan penanganan tidak hanya dari satu jenis intervensi saja, tetapi melalui beragam program. Salah satunya melalui strategi perlindungan terhadap asap tembakau dengan melaksanakan dan menguatkan kawasan tanpa rokok (KTR), advokasi jejaring untuk menerapkan KTR, dan berpartisipasi dalam pengembangan danpengawasan KTR.
Selain itu, melakukan pengawasan penggunaan tembakau dan pencegahannya seperti melakukan pertemuan dengan elemen masyarakat untuk mendisukusikan perilaku merokok.
"Optimalkan dukungan untuk berhenti merokok dan waspadakan masyarakat akan bahaya tembakau," kata dia. Selanjutnya, kata dia, menghilangkan iklan, promosi, dan sponsor terkait rokok atau tembakau.
Upaya yang bisa dilakukan antara lain dengan advokasi pada pemerintah untuk meniadakan iklan, promosi, dan sponsor terkait rokok/tembakau serta tidak menerima sponsor dari rokok/tembakau.
Strategi lain dengan meraih kenaikan cukai tembakau dengan mengadvokasi pemerintah untuk menaikkan cukai rokok dan melakukan media advokasi untuk kenaikan cukai tembakau "Berhenti merokok di Indonesia itu seperti uji nyali, karena saat individu sudah bertekad berhenti namun kondisi lingkungan kurang mendukung sehingga penguatan komitmen sangat diperlukan," kata dia.