Berita Internasional: Derita Warga Myanmar, Diburu Rezim Militer, Disergap COVID-19
Ilustrasi pemakaman jenazah pasien COVID-19. (Sumber: ncr-iran.org)

Bagikan:

YOGYAKARTA - Belum selesai persoalan kudeta militer 1 Februari, rakyat Myanmar seharusnya mendapatkan kenyataan gelombang COVID-19 tahun ini lebih parah dan mematikan dibanding tahun lalu, membikin rakyat menghadapi dua himpitan bebarengan.

Tidak cuma antrean untuk memeroleh oksigen, cara perawatan kesehatan yang kacau semenjak kudeta militer, menciptakan orang kesusahan untuk menerima antrean perawatan, terutama rawat inap.

Belum stop hingga di situ, antrean pemakaman mereka yang wafat dampak COVID-19 tidak kalah panjang. Tidak jarang jenazah pasien COVID-19 seharusnya bersebelahan dengan pasien yang masih menjalani perawatan.

Derita Warga Myanmar

Pun demikian dengan fasilitas kremasi yang mengalami lonjakan permintaan, membuat jenazah pun hars mengantri panjang untuk dikremasi. Ini melengkapi lelahnya para supir ambulans dan tenaga pemakaman COVID-19.

Melansir CNN Kamis 22 Juli, berbulan-bulan dilanda kekacauan politik berdarah, pasukan keamanan Myanmar telah membunuh lebih dari 900 orang, termasuk menembak mati pengunjuk rasa di jalan-jalan, dan mengepung seluruh desa. Ribuan orang telah ditahan dalam tindakan keras yang sedang berlangsung, dengan laporan penyiksaan yang meluas.

Masyarakat sipil telah terkikis dan sistem perawatan kesehatan yang sudah rentan telah runtuh. Dokter dan petugas kesehatan lainnya, banyak dari mereka yang mogok untuk memprotes kudeta, terpaksa bersembunyi untuk menghindari serangan dan penangkapan dari pasukan junta.

Ketika Myanmar sekarang menghadapi wabah COVID-19 terburuknya, dokter dan sukarelawan yang berbicara kepada CNN menuduh militer menggunakan pandemi sebagai senjata melawan rakyat.

Mereka mengatakan, militer telah membatasi penjualan oksigen kritis ke publik dan menolak pasien sakit di rumah sakit yang dikelola militer. Wabah COVID-19 juga telah mencapai penjara, termasuk penjara utama, Insein, yang menampung pengunjuk rasa anti-kudeta.

Warga yang ketakutan memilih untuk mengobati sendiri di rumah, kata dokter. Ketika mereka pergi ke rumah sakit, mereka sering ditolak karena fasilitas kehabisan oksigen, perawatan dan tempat tidur, dan tidak ada cukup staf untuk merawat pasien, kata mereka.

Pada Hari Rabu lalu, Kementerian Kesehatan yang dikendalikan militer melaporkan 6.093 kasus virus corona, sehingga total yang kasus yang dikonfirmasi di Negeri Seribu Pagoda tersebut menjadi 246.663. Ada juga 247 kematian yang dilaporkan, dengan jumlah kematian yang dikonfirmasi dari COVID-19 5.814.

Tetapi dokter dan kelompok sukarelawan mengatakan angka-angka itu lebih kecil dari jumlah yang tidak dilaporkan. Program vaksinasi COVID-19 yang dulu menjanjikan, telah runtuh di bawah pemerintahan junta. Pengujian minimal, kurangnya data resmi, dan ketidakpercayaan publik yang meluas terhadap militer, berarti tidak ada yang memiliki gagasan yang jelas tentang sejauh mana krisis tersebut.

"Ini hanya puncak gunung es. Kami melihat pasien memburuk dan orang meninggal setiap hari," kata seorang dokter yang tidak mau disebutkan namanya karena takut akan pembalasan.

Joy Singhal, kepala delegasi Myanmar dari Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah mengatakan, peningkatan pesat COVID-19 di Myanmar sangat memprihatinkan. Dalam beberapa hari terakhir sekitar sepertiga dari orang yang dites, positif terinfeksi.

"Peningkatan kasus ini telah menempatkan seluruh sistem kesehatan di bawah tekanan besar. Kami sangat membutuhkan tingkat pengujian, pelacakan kontak, dan vaksinasi yang lebih besar di semua wilayah negara," terangnya.

Dengan tidak adanya sistem medis yang berfungsi atau rencana resmi COVID-19 nasional, dan dengan ketidakpercayaan publik terhadap apa pun yang terkait dengan junta militer. Jaringan dokter bawah tanah dan kelompok sukarelawan berusaha menutup celah.

Baca selengkapnya di: Derita Warga Myanmar: Diburu Rezim Militer, Disergap COVID-19