YOGYAKARTA - PT Pertamina (Persero) sudah menaikan harga Liquefied Petroleum Gas (LPG) non subsidi selama dua kali dalam sebagian bulan ini. DPR RI mengkhawatirkan, kenaikan harga LPG non subsidi ini akan memunculkan migrasi penerapan dari LPG non subsidi ke LPG subsidi terutama 3 Kilogram (Kg).
Merespons hal itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, tak perlu kuatir dengan potensi migrasi pengguna sebab secara konsep keduanya mempunyai profil pengguna yang berbeda sehingga dapat diminimalisir.
BACA JUGA:
"Saya kira potensi migrasinya bisa diminimalkan. Secara konsep harusnya tidak ada migrasi karena profil penggunanya berbeda," ujar Komaidi kepada VOI, Senin 7 Maret.
Ancaman Pengoplos Gas
Menurutnya, gas LPG non subsidi umumnya digunakan oleh badan usaha dan rumah tangga kelas menengah atas yang kemungkinan kecil untuk pindah ke gas 3 kg dengan berbagai pertimbangan.
"Kalau pun ada dan perlu diwaspadai adalah potensi pengoplosan dari oknum tidak bertanggungjawab. Potensi tersebut yang saya kira perlu lebih diwaspadai," imbuhnya.
Pertamina secara resmi menaikkan harga gas elpiji atau LPG mulai Minggu 27 Februari 2022. Harga gas elpiji yang naik adalah ukuran 5,5 kg dan 12 kg alias gas elpiji non subsidi. Sedangkan harga gas elpiji 3 kg masih tetap karena mendapat subsidi pemerintah.
PT Pertamina Patra Niaga menaikkan harga LPG non-subsidi sebesar Rp15.500 per kilogram (kg). Adapun kenaikan tersebut merupakan kenaikan bertahap yang sudah dilakukan Pertamina sejak akhir Desember 2021.
Kenaikan harga hanya berlaku untuk LPG non-subsidi seperti Bright Gas, sedangkan untuk LPG subsidi 3 kilogram (kg) atau gas melon tidak ada perubahan harga.
Artikel ini telah tayang dengan judul: Harga Elpiji Non Subsidi Naik, Pengamat Ingatkan Ancaman Pengoplos Gas
Saatnya merevolusi pemberitaan di Jogja.Voi.id!