Angin Segar DEWG untuk Tata Kelola Data Indonesia
Sejumlah delegasi mengikuti Pertemuan Ketiga Digital Economy Working Group (DEWG) Presidensi G20 pada hari terakhir di Labuan Bajo, NTT, Jumat (22/7/2022). . ANTARA

Bagikan:

YOGYAKARTA - Forum Digital Economy Working Group (DEWG) yang baru saja diadakan di Nusa Tenggara Timur memberikan angin segar bagi iklim tata kelola data di Indonesia.

Paling tidak, setelah forum ini, Indonesia semakin terdorong untuk menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi dan mengesahkannya sebagai undang-undang.

Mengapa demikian?

Pertemuan DEWG ketiga, bagian dari Presidensi G20 Indonesia, sepakat untuk memiliki pemahaman bersama, common understanding, mengenai tata kelola aliran data lintas batas negara seperti yang dikutip VOI dari ANTARA.

Tata Kelola Data Indonesia

Indonesia, sebagai tuan rumah dan pengampu forum ini, mengusulkan tiga prinsip untuk tata kelola data secara umum, yaitu keabsahan hukum (lawfulness), keadilan dan transparansi.

Pada tataran tertentu, seperti data pribadi, maka perlu ada prinsip timbal-balik atau resiprokal dalam arus data lintas batas negara.

Kesepakatan yang dihasilkan dalam forum DEWG tidak bersifat mengikat, ia tidak seperti undang-undang yang wajib diaplikasikan dan dipatuhi. Kesepakatan ini akan diadopsi masing-masing anggota G20 dan diimplementasikan di negara mereka sesuai dengan kebutuhan

Indonesia, sebagai ketua forum ini, tentu tidak akan mengabaikan kesepakatan ini begitu saja. Mengikuti kesepakatan yang dihasilkan DEWG tentu menjadi komitmen Indonesia, baik sebagai ketua forum maupun sebagai negara anggota G20.

Sejumlah negara di dunia saat ini sudah memiliki regulasi tata kelola data dan perlindungan data pribadi, berupa undang-undang atau yang setara. Tentu kita semua tahu wilayah Uni Eropa menjadi salah satu yang ketat menerapkan regulasi tata kelola data melalui General Data Protection Regulation (GDPR), yang dinilai sebagai yang paling komprehensif untuk saat ini.

Melihat prinsip timbal-balik atau resiprokal, negara yang sepakat untuk mengadakan pertukaran data perlu memiliki perlindungan atau regulasi yang setara soal tata kelola data. Jika tidak, maka bisa menimbulkan banyak kendala atau yang paling mungkin terjadi, negara enggan bertukar data jika tidak ada jaminan melalui regulasi.

Selain alasan praktis bahwa Indonesia adalah ketua DEWG G20, pertimbangan lainnya adalah kondisi terkini bisa dibilang mendesak bagi kita untuk memiliki regulasi tata kelola data dan perlindungan data pribadi setingkat undang-undang.

Mengatakan adopsi teknologi dan internet meluas agaknya mengecilkan fenomena saat ini. Jika boleh ditambah, sembilan bahan pokok alias sembako bisa menjadi sepuluh jika melihat kebutuhan internet setelah kita mengalami pandemi.

Bisa dilihat langsung, ada kegiatan yang tidak berjalan optimal ketika tidak ada internet, contohnya bekerja dan sekolah dari jarak jauh.

Pernah memesan makanan lewat ojek online? Ini bisa terjadi berkat internet, selain tentunya memiliki ponsel yang bisa tersambung ke internet dan sudah mengunduh aplikasi yang diperlukan.

Ada begitu banyak data yang perlu diberikan kepada berbagai platform digital supaya kehidupan nyata terbantu oleh dunia maya ketika kegiatan fisik serba terbatas. Kata "digital" itu sendiri sebenarnya menjadi penanda, bahwa aktivitas tersebut berada di dunia maya sehingga perlu ada data yang diolah di sana.

Ambil contoh sederhana, belanja online. Aktivitas belanja sudah tentu konsumen harus membayarkan sejumlah uang supaya bisa mendapatkan barang-barang tersebut. Sayangnya, ketika belanja online, membayar saja tidak cukup.

Konsumen secara sukarela harus memberikan alamat pengantaran, jika tidak, bagaimana barang tersebut bisa sampai ke tangan pembeli. Lewat aktivitas belanja online, paling tidak seseorang harus memberikan nama, alamat, identitas perbankan jika membayar dengan kartu kredit atau debit, dan nomor ponsel untuk syarat pendaftaran akun dan pengantaran barang.

Data tersebut didapatkan ketika seseorang mendaftar pada satu platform belanja. Bagaimana jika satu orang punya akun di lima platform belanja berbeda? Bagaimana jika satu platform belanja punya 10 juta pengguna?

Regulasi perlindungan data

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi sudah berada di Dewan Perwakilan Rakyat sejak 2020, sayangnya pembahasan regulasi itu belum mendapatkan titik temu. Pemerintah dan wakil rakyat masih belum menemukan kata sepakat soal lembaga yang nanti akan bertugas mengawasi perlindungan data pribadi.

Jika ditimbang-timbang, manfaat regulasi ini sangat banyak untuk menjaga keamanan dan kenyamanan di jagat maya. Dua tahun belakangan penggunaan internet di Indonesia semakin masif, dipicu pandemi virus corona.

Kondisi ini bagai dua sisi mata uang, di satu sisi memberikan segudang manfaat untuk aktivitas fisik yang terbatas dan membuka peluang baru. Di sisi lain, semakin besar aktivitas di dunia maya memberikan ancaman siber yang tidak kalah besar.

Kementerian Komunikasi dan Informatika pernah menyatakan Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi target serangan siber. Catatan perusahaan keamanan siber Kaspersky, mereka mendeteksi 11,8 juta ancaman dunia maya di Indonesia, hanya untuk Januari sampai Maret 2022.

RUU Perlindungan data pribadi menjanjikan perlindungan bagi masyarakat dalam hal data pribadi sekaligus memberikan ruang untuk industri yang memanfaatkan teknologi digital untuk bertumbuh.

Tarik waktu ke belakang, sekitar dua tahunan ini banyak isu keamanan siber yang mengemuka seperti platform digital, baik sektor publik maupun privat, diretas hingga datanya bocor.

Regulasi perlindungan data pribadi menjanjikan sanksi bagi pelaku kejahatan maupun platform digital jika ia terbukti lalai menjaga keamanan data pribadi.

Individu juga bisa dikenakan sanksi jika dia memalsukan data pribadi. Jika individu juga bisa diberikan sanksi, maka, mau tidak mau, literasi digital masyarakat harus ditingkatkan agar mereka bisa memahami cara melindungi dan memperlakukan data pribadi mereka.

Tata kelola data sudah tentu akan bermanfaat bagi iklim ekonomi digital. Gambaran sederhananya, perusahaan, terutama asing, mendapat kepastian soal perlindungan data di Indonesia sehingga mereka akan semakin percaya untuk berbisnis.

Ini bisa membawa dampak yang baik bagi ekonomi digital Indonesia, yang diperkirakan terus bertumbuh menggembirakan sampai 2030.

Keberadaan regulasi perlindungan data ini amat sangat penting, Indonesia perlu memilikinya sesegera mungkin agar dunia internet semakin sehat.