Valentino Rossi: Balap Motor adalah Olahraga yang Disepelekan di Kampung Halaman
Valentino Rossi (Sumber Commons Wikimedia)

Bagikan:

YOGYAKARTA - Jadi Top dunia awalnya Valentino Rossi tumbuh di lingkungan di mana balap motor dianggap sebagai olahraga rendahan. Proses Rossi menjelma sebagai pembalap kelas dunia itu gak main-main.

Pemilik nomor 46 beranggapan tiada hal paling penting di dunia kecuali jadi pembalap. Kerja kerasnya terbayar. Dia pemenang di seluruh kelas motoGP. Kesuksesan itu buat seisi kota kelahirannya, Tavullia berterima kasih terhadap Rossi.

Tiada sosok yang paling berimbas dalam hidup Valentino Rossi kecuali ayahnya, Graziano Rossi. Sang ayah mempunyai andil besar menanamkan kegemaran seni balap motor pada Rossi kecil. Apalagi ayahnya diketahui sebagai pembalap motor profesional.

Olahraga yang Disepelekan di Kampung Halaman

Saking cintanya terhadap dunia balapan, kelak ketika memiliki anak Graziano ingin menyematkan nama sahabatnya Valentino yang telah meninggal dunia. Sahabatnya itu punya jasa besar. Valentino telah membantu Graziano menang dalam balapan motor 250cc Grand Prix.

Karena itu, ketika anaknya lahir pada 16 Februari 1979 di Tavullia, Urbino, buah cintanya langsung diberi nama Valentino Rossi. Kecintaan Rossi akan dunia balapan mulai tumbuh ketika Rossi masih kecil. Kesukaan itu tumbuh karena sehari-hari Rossi banyak menghabiskan waktu bersama sang ayah. Secara tak langsung, sifat sang ayah yang menular kepada Rossi.

Karenanya, Rossi tumbuh sebagai pribadi berkharisma, suka tantangan, santai, dan nyentrik. Lebih lagi, mimpi sang ayah ingin meneruskan citanya yang tak kesampaian kepada Rossi: menjadi juara dunia balap motor. Namun, cita-cita itu dianggap berlebihan oleh ibu Rossi, Stefania. Ia lebih rasional. Stefania menginginkan Rossi tumbuh seperti anak-anak lainnya yang bercita-cita umum, selain pembalap.

Sosok Graziano Rossi

“Inilah karakter Graziano yang memandu Valentino Rossi muda melewati masa kecilnya. Dan, dengan melihat dari belakang, Rossi harus berurusan dengan dua pandangan orang tua yang berbeda. Meskipun Graziano adalah kaum hippie eksentrik, mimpi ibunya untuk membentuk Rossi jauh lebih rasional dan normal.

“Umumnya mimpi Stefania dianggap lebih terhormat dan masuk akal. Stefania yang berkerja sebagai surveyor untuk dewan perwakilan rakyat setempat berharap putranya akan tumbuh menjadi insinyur atau arsitek, keduanya profesi yang kala itu sangat dihormati di Italia, seperti di tempat-tempat lain,” ungkap Stuart Barker dalam buku Valentino Rossi: The Definitive Biography (2020).

Perbedaan itu bukan membuat Rossi kecil bimbang. Pribadi Rossi yang suka tantangan membuatnya memilih jadi pembalap sebagai opsi yang paling masuk akal. Ia pun bekerja keras untuk menjadi pembalap kelas dunia, sekalipun masih berada di bangku sekolahan. Saking cintanya dengan dunia balapan, Rossi tak penah menyukai aktivitas belajar di sekolah. Dalam pandangannya, pendidikan dan Rossi berjalan tak akan selaras.

Bolos sekolah lalu jadi ajian utama Rossi supaya dapat ikut kompetisi balap motor. Perilaku itu kemudian tak disukai oleh guru-guru di sekolah Rossi. Pandangan merendahkan profesi pembalap sering dilontarkan oleh guru-guru Rossi.

Guru sejarah kesenian Rossi, misalnya. Guru itu memberikan komentar yang melulu negatif tentang nasib seorang pembalap. Ia memberikan pernyataan kurang menyenangkan kepada Rossi: kamu yakin kalau berkutat terus dengan motor konyol itu kelak kamu bisa cari makan?

Rossi menandakan dengan setumpuk prestasi di dunia balap. Di umur remaja, Rossi malahan sudah turut balap motor di luar negeri. Dan menang. Sayang seribu sayang, gurunya tidak pernah merespons positif prestasi Rossi.

Gurunya justru cenderung menganggap kesibukan balap yang dilakoni Rossi tidak ubahnya sebagai aktivitas minim manfaat. Karena, dampak utama dari absennya Rossi meniru pembelajaran sekolah yaitu poin-nilainya yang menurun tajam. Lantaran itu masa depan Rossi diramal tidak cerah. Di tambah lagi Rossi putus sekolah ketika SMA.

“Aku pikir komentar guruku menggambarkan sebagian kecil saja dari diriku. Pelajaran kesenian mungkin bidang yang kurang kusukai, sama seperti matematika. Bukan salah gurunya, namun aku memang tak tahan belajar sejarah kesenian.”

“Akibatnya, aku tak bisa menjadi murid terbaik dan aku memang bukan yang terbaik dalam hal memerhatikan pelajaran di kelas. Lalu guru sejarahku itu menjadi marah begitu ia tahu aku tak tertarik oleh pelajarannya. Karena begitu jengkelnya, ia lalu serta-merta menprediksikan hal yang tak akurat sama sekali,” ungkap Valentino Rossi dalam bukunya Valentino Rossi: Andai Aku tak Pernah Mencoba (2006).

Baca selengkapnya di: Balap Motor adalah Olahraga Rendahan di Kampung Halaman Valentino Rossi