Tenaga Ahli KSP: Penyatuan Tanah di IKN Menyatukan Cita-Cita dan Harapan
Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV KSP Joanes Joko saat beraudiensi dengan petani di Lombok Timur. (ANTARA)

Bagikan:

YOGYAKARTA - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Joanes Joko menilai prosesi penyatuan tanah dan air dari 34 provinsi di Titik Nol Kilometer IKN Nusantara bukan sekadar seremoni penyatuan unsur-unsur fana melainkan manifestasi dari spiritualitas manusia.

Joanes menekankan penyatuan tanah dan air di IKN membuat ide alam pikiran menjadi mewujud dalam tindakan serta menyatukan cita-cita, tekad, semangat, dan harapan.

"Menyatukan cita-cita, tekad, semangat, dan harapan untuk meneguhkan tanah air yang satu dalam kekayaan diversitasnya. Menjadikan Indonesia negara besar yang merdeka, maju, makmur, dan sejahtera bagi rakyatnya," ujar Joanes dalam pandangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu seperti yang dikutip VOI dari ANTARA.

Menyatukan Cita-Cita dan Harapan

Dia mengatakan penyatuan itu merupakan titik awal mengobarkan semangat gotong royong membawa Indonesia sebagai mercusuar peradaban dunia melalui IKN Nusantara.

Dia menceritakan tatkala melihat upacara penyatuan tanah dan air di Titik Nol IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, beberapa hari lalu, Joanes mengaku teringat cerita tentang satu tugu sederhana di Solo, Jawa Tengah, yang umum dikenal dengan sebutan Tugu Lilin atau Tugu Kebangkitan Nasional.

Menurutnya, sebagian warga Kota Solo boleh jadi sudah mengenal baik keberadaan tugu tersebut.

"Saya pribadi merasa punya keakraban tersendiri dengan tugu ini. Saat remaja hampir setiap hari berangkat sekolah melewatinya. Konon tugu tersebut dibangun dari tanah yang disatukan dari seluruh Indonesia," ujarnya.

Beberapa tahun kemudian, kata dia, ketika membaca media lokal, dirinya baru mendapat kebenaran cerita sejarah tentang bangunan berbentuk lilin tersebut.

"Sebagian orang menyebutnya Tugu Lilin atau Tugu Kebangkitan Nasional. Awalnya bernama Tugu Peringatan Pergerakan Kebangsaan. Letaknya di persilangan Jalan Kebangkitan Nasional dan Jalan Dr Wahidin, di pojok depan Sekolah Teknik Menengah (STM) Murni," jelasnya.

Dia mengatakan STM Murni adalah milik Perkumpulan Perguruan Netral. Saat Indonesia dijajah Jepang namanya berubah menjadi Perkumpulan Perguruan Murni.

Perkumpulan tersebut berdiri pada 1914 dan dirikan oleh nama-nama besar dalam dunia pergerakan kebangsaan Indonesia, yakni Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Rajiman Wedyodiningrat, Pangeran Wuryaningrat dan Pangeran Notodirejo.

"Perkumpulan ini hadir tujuh tahun setelah berdirinya Organisasi Pemuda Budi Utomo," kata dia.

Dia mengisahkan pada 1931 sejumlah perwakilan pemuda dan aktivis pergerakan dari berbagai wilayah di Indonesia mengikuti Kongres Indonesia Raya di Surabaya, Jawa Timur.

Dalam kegiatan tersebut, ada keinginan para peserta untuk membangun tugu peringatan 25 tahun Kebangkitan Nasional di berbagai kota. Ide ini akhirnya hanya terealisasi di Solo, dieksekusi oleh Pangeran Wuryaningrat, anak mantu Paku Buwono X, Raja Kasunanan Surakarta, Solo.

Menurut informasi yang diperolehnya, sebelum tugu tersebut dibangun pada 1933, dimulai upacara penyatuan gumpalan tanah dari berbagai penjuru Nusantara yang dibawa para aktivis pergerakan kebangsaan ketika itu.

"Peristiwa itu boleh jadi dianggap konyol dan ditertawakan pihak-pihak yang menentang ide mewujudkan kebangsaan Indonesia. Namun meleburkan gumpalan tanah dari penjuru Nusantara di kala itu merupakan manifestasi simbolik dari keyakinan bahwa suatu saat gerakan yang mereka lakukan akan menyatukan sebuah cita-cita luhur dan mewujudkan impian bercahaya tentang kelahiran bangsa merdeka bernama Indonesia," jelasnya.

Dia menekankan pada akhirnya waktu yang menjawab impian kaum pergerakan kebangsaan yang hadir di Solo. Bukan sebuah kebetulan belaka, sejarah Tanah Air Indonesia mencatat 12 tahun setelah gumpalan tanah dari penjuru Nusantara dibaurkan untuk membangun Tugu Lilin Solo, Soekarno-Hatta Memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia.

"Sejarah seolah berulang bahwa 89 tahun setelah Tugu Lilin dibangun dari leburan tanah Nusantara, Presiden Jokowi dan para perwakilan pimpinan 34 provinsi melakukan upacara simbolik penyatuan tanah dan air dari segala penjuru Indonesia di Titik Nol Ibu Kota negara Nusantara," tegasnya.

Dia menekankan mewujudkan cita-cita kemajuan sebuah bangsa bukan perkara mudah, dan pasti diliputi pro dan kontra. Namun demikian hal serupa dialami para pendahulu bangsa.

"Bukankah para pendahulu bangsa tak habis-habisnya mendapat hambatan tatkala mereka merintis jalan menuju Indonesia merdeka? Termasuk tentangan hebat dari penjajah maupun kaum sendiri yang telah terlena dalam zona nyaman menjadi agen penjajah kolonial," jelasnya.

Joanes menyampaikan saat menyaksikan ritual penyatuan tanah dan air di Penajam Paser Utara dirinya teringat kembali kutipan Uskup Agung Olinda dan Recife, Brazilia serta tokoh besar teologi pembebasan di Amerika Latin Dom Helder Camara yang percaya bahwa suatu impian tak mustahil diwujudkan bila menjadi cita-cita bersama.

BACA JUGA:


Saatnya merevolusi pemberitaan Jogja.Voi.id!

Terkait