Pameran Seni Rupa dan Pencitraan Seniman
Ilustrasi galeri seni (Unsplash)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Tak bisa dibantah bahwa pameran seni rupa jadi bagian dari pencitraan sang seniman.

Pencitraan berasal dari kata “Citra”. Kata dasar Citra diartikan sebagai gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk.

Secara umum pencitraan diartikan sebagai sebuah proses atau cara menangkap, menyimpan, menampilkan, dan mencetak citra grafis. Dalam pengertiannya, pencitraan memang diartikan sebagai sesuatu yang netral. Namun, dalam perkembangannya, arti pencitraan cenderung kabur karena condong ke hal negatif.

Persepsi masyarakat terhadap istilah “pencitraan” saat ini mengalami “kegundahan” karena istilah itu kini justru lekat dengan dunia politik praktis. Kondisi itu memang tidak bisa disalahkan mengingat para pelaku praktik pencitraan kebanyakan—dan dilakukan secara terang-terangan—oleh tokoh yang mencalonkan diri dalam pemilihan umum.

Upaya pencitraan dalam politik praktis kemudian berkonotasi negatif, setidaknya di benak sebagian masyarakat. Konotasi tersebut juga tidak bisa dibendung meskipun tidak semua tokoh politik melakukan pencitraan dengan cara yang tidak berterima.

Di sisi lain pencitraan masih sangat dibutuhkan dalam berbagai bidang, termasuk bidang kesenian. Pencitraan menjadi salah satu bentuk komunikasi antara seniman dan masyarakat, terutama dari kalangan penikmat seni. Seniman menggunakan produk kesenian yang diciptakannya untuk membentuk citra tertentu di benak masyarakat.

Bagi seniman, pencitraan—secara umum—merupakan upaya yang dilakukan untuk meraih kepercayaan masyarakat. Tak sampai situ, pencitraan juga dilakukan untuk mendulang simpati, atau menghimpun perasaan kolektif atau cara pandang masyarakat terhadap suatu objek.

Dalam dunia sastra, novel sebagai salah satu produk kesenian dapat digunakan sebagai alat “pencitraan” penulisnya. Katakanlah Ernest Hemingway, novelis Amerika  yang selalu menggambarkan dirinya dalam karya fiksi karangannya sebagai orang yang gemar berburu dan citra maskulin lain. Hal serupa juga ada dalam seni rupa.

Dalam aliran seni rupa, Frida Kahlo, pelukis perempuan Meksiko yang dipercaya sebagai pendukung feminisme, menjadikan dirinya sebagai objek lukisannya sendiri. Dalam lukisannya ia menggambarkan raut wajahnya yang tegas dengan warna yang mencolok. Interpretasi yang kemudian muncul adalah bahwa masyarakat menganggap Frida Kahlo adalah sosok yang berani tampil di hadapan para penikmat seni, khususnya kaum pria, untuk menentang pandangan miring terhadap kaum perempuan.

Benturan yang terjadi di taraf pemaknaan istilah “pencitraan” dalam politik praktis dan ruang kesenian itu yang mendasari pameran ini digelar. Karya seni selain digunakan sebagai media mengekspresikan diri seniman, juga digunakan sebagai media pencitraan yang jauh berbeda dari alat pencitraan politik praktis.

Pameran seni rupa menjadi media pencitraan bagi seniman agar masyarakat memberikan pandangan baiknya atas karya seni serta seniman sebagai penciptanya.