YOGYAKARTA - Selama masa pandemi ini museum mengalami penurunan pengunjung yang amat drastis. Bahkan capaiannya sudah mencapai 90 persen. Hal ini diungkapkan langsung oleh Wakil Bupati Sleman Danang Maharsa.
"Kita mempunyai sekitar 21 museum yang baik itu dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Tetapi, dari hasil diskusi kami dengan kepala-kepala museum, di masa pandemi COVID ini hampir 90 persen tingkat pengunjung museum itu hampir turun drastis," kata Danang pada Senin.
BACA JUGA:
Pengunjung Museum Turun 90 Persen
Menurutnya, acara Festival putra Bajang sekalian pengesahan dibukanya Museum anak Bajang yang diselenggarakan di Omah Petroek, Wonorejo, Sleman, DI Yogyakarta diinginkan dapat mendongkrak kunjungan ke museum.
"Bagaimana pemerintah daerah dan semua pengelola dan seniman berpikir agar nanti museum ini bisa menjadi suatu wahana yag tidak hanya tempat untuk menyimpan benda bersejarah, tetapi yang terpenting untuk bisa memberikan edukasi dan pengetahuan kepada masyarakat," kata dia yang dikutip VOI dari ANTARA.
Dalam peluang yang sama, Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengimbau supaya para generasi terdahulu dapat mengenalkan cerita-cerita wayang terhadap generasi yang lebih muda.
"Kalau dibuka jalannya untuk anak-anak bisa mengakses cerita wayang yang memang sudah ditulis sudah ratusan tahun sebelum ini, jaraknya cukup jauh ya. Jadi kalau berharap anak-anak menghapal atau mengenali cerita-cerita wayang hari ini, sementara pertunjukan-pertunjukan juga jumlahnya semakin berkurang itu agak sulit ya," kata Hilmar.
"Kalau ditanya metodenya apa, metode yang bisa membuka jalan bagi anak-anak sehingga bisa menikmati wayang," lanjutnya.
Lebih lanjut, Hilmar juga mengatakan bahwa metode yang kedua agar anak-anak tertarik dengan cerita wayang adalah mengajak mereka untuk dapat menikmati cerita tersebut. Sehingga dengan menikmati cerita wayang, anak-anak dapat larut dan menyukainya.
"Kedua, jalan orang untuk akrab kembali dengan wayang sebetulnya cukup banyak. Tinggal dari kita yang lebih dulu lahir bisa memberi jalan bagi anak-anak untuk bisa mengikuti keasyikan yang sama. Asyik itu adalah kata kuncinya. Tanpa itu, upaya untuk menanamkan itu pasti akan mental," kata Hilmar.
Festival menggunakan nama "Anak Bajang" yang diangkat dari nama novel karya Sindhunata yang berjudul "Anak Bajang Menggiring Angin" yang terbit di tahun 1981. Bajang merupakan sosok pewayangan yang direpresentasikan sebagai "buruk rupa" dari dunia saat ini.
"Figur Anak Bajang adalah abstrak dan untuk diri kita sendiri, tapi juga mengkritik habis-habisan sebagai manusia. Makhluk yang tidak sempurna mencoba menghayati nilai-nilai untuk mencapai ke sana walaupun tidak pernah dicapai hidup ini," kata Sindhunata, sang pencipta Anak Bajang.